Minggu, 19 Februari 2012


BOUGENVIL MERAH

            Satu pot bunga bougenvil merah menghiasi teras rumahku pagi itu. Entah dari mana datangnya. Semua anggota keluargaku, istri dan kedua anakku yang masih usia kuliahan menanyakan hal itu. Semua mencari tahu. Kebetulan keluargaku tidak ada yang menyenangi bunga. Jadi tidak ada yang peduli ada dan tidaknya bunga itu. Hanya saja semua jadi was-was atas kedatangan bunga itu. Jangan-jangan ada yang berniat buruk pada keluargaku.
            Belum genap satu hari bunga itu meronta kehausan terpanggang sinar matahari bulan mei. Mungkin sudah beberapa hari tidak diriram pemiliknya, kasihan. Aku mendekati bunga itu . Kupegang batangnya, daunnya, lalu bunganya. Waktu aku pegang bunganya lagi, durinya taak sengaja menyengat tanganku, cukup saki, tak apa. Kubawa bunga itu ke alam khayalku. “Kamu bagus, kamu cantik. Siapa yang mengirim kamu ke sini? Yang jelas ada yang  mengirimmu ke sisni. Yang aku tidak mengerti mengapa harus berwarna merah. Sedangkan warna merah warna yang sedang digandrungi di lingkunganku”.
            Sore hari matahari tidak lagi menyengat muka muka permukaan apa saja. Dengan segayung air aku mendekat dan menyiram bunga itu. Segar, kelihatan segar. Dari kesegarannya menyiratkan kata terima kasih yang tak terhingga. Jadilah mualai saat itu aku menyayangi bunga itu. Dan hari-hariku melaju tanpa sedikitpun beranjak dari mengingat bunga itu. Tanpa disadari aku selalu dalam dekapan bunga itu,
            Sejak kehadiran bunga bougenvil merah itu gairah hidupku jadi terasa lebih bermakna, membangkitkan gairah-gairah baru. Cara ber[kir, cara pandang, cara dengar, cara bicara, cara bertindak, cara berpendapat, semua serba mengalir dari gairah-gairah baru. Begitu pula istriku sepertinya ikut mengejar gairah-gairah di belakang bayang-bayang gairah-gairah yang kumiliki. Artinya istriku mulai mendekati bingkai aura bunga bougenvil merah itu.
            Menyayangi sesuatu tanpa adanya pengorbanan adalah kebogongan. Aku sendiri  menapak menuruti kata hati, tanpa dipaksa dan terpaksa meluangkan waktu merawat bunga itu, menyiram, memupuk dan menyiangi. Kuharapkan tentu adanya timbal balik dari apa yang aku berikan. Tidak sia-sia, sepertinya bunga itu bersolek mempercantik diri, aku tambah menyayangi. Serasa bunga itu bergelayut di hati dan pikiranku ke mana aku pergi dan di mana aku berada.
            Dua ahari sebelum bunga itu ada, istriku agak mengurangi tegur sapa, ngambek. Istriku menyimpan benih konflik, cemburu. Sebabnya, kata tetangga seblah, waktu aku tidak berada di rumah, kedatangan ibu muda sebaya dengan istriku, tampak lebih gesit dan cantik daripada istriku, katanya teman lamaku di kampus. Ibu muda itu cerita ngalor ngidul yang akhirnya istriku mempunyai kesimpulan sendiri, “Dia pasti mantak titik-titik suamiku, tentu masih ada sisa-sisa butiran-butiran biji zarah cinta yang sewaktu-waktu dapat tumbuh jika jatuh di tanah media cinta habitatnya”. Yah, begitulah istriku. Padahal tanpa orang itu aku tidak dapat bersanding dengan istriku. Pasalnya, waktu itu aku yang cukup pandai dalam bidang studi tertentu dapat menarik fasilitas atau kemudahan yang dimilki teman-tmanku anaknya orang kaya. Tentu, pinjam motor atau fasilitas yang lain untuk modal ngapeli istriku waktu itu.
            Suatu sore, aku duduk-duduk di teras sambil memandang bunga bougenvil merah itu. Istriku mendekat dengan muka penuh tanya dan masih minim tegur sapa. Angin bertiup menggoyang bunga itu, goyangan yang ringan mempermainkan mata yang memandang. Istriku duduk di sampingku, masih seperti biasa menjaga jarak berbicara yang tergambar di wajahnya. Aku merasa kesulitan menyodorkan kata kunci pembuka pembicaraan. Oh ya, aku lupa, kalau aku membuka pembicaraan dengan masalah indahnya bunga itu, paling-paling reaksi istriku sama seperti dulu waktu aku baru mengenalnya, “Maaf, Mas, aku buta warna. Jadi aku sulit menikmati nuansa-nuansa warna bunga”. Atau kalau aku menyodorkan masalah keberadaan bunga itu, malah bisa jadi pemicu hal-hal yang tidak diinginkan, yang ujung-ujungnya oleh istriku pasti dikaitkan dengan kedatangan tamu beberapa waktu yang lalu.
            “Mas?”, istriku membuka pembicaraan.
            “Ya, Jeng”.
            “Mas punya hobi baru menyayangi bunga?”.
            “Ya, begitulah”.
            “Rapanya pengirim bunga itu tahu etul selera Mas”.
            “Ya, begitulah kira-kira”.
            “Jangan-jangan diberi mantan Mas di kampus”.
            Aku diam sejenak. Aku yang biasanya emosi tidak serta merta mengumbar kata-kata. Aku malah tersenyum. Dari senyumku, istriku menekuk bibir danmengerutkan kening. Begitulah reaksi istriku ketika marah, ketika mengatur-ngatur aku, ketika menguasai aku. Kali ada perubahan pengurangan kemarahan. Bisanya tidak pernah terlepas dari kata-kata yang menyakitkan. “Aku kurang kratiflah, aku kurang gaullah, aku kurang inilah, itulah, singkatnya aku penghasilannya kurang dibandingkan dengan teman-teman seangkatanku dan tetanggaku”. Simpulannya istriku kurang bersyukur dari apa yang aku berikan. Mungkin sebagian istri-istri keluarga lain yang berakibat pada di-blacklist-nya atau daftar hitam kebanyakan perempuan di akherat karena kurang bersyukur atas nafkah dan jerih payah yang diberikan suaminya. Aku  lalu berpikir, “Istri tamatan SD saja kadang mengatur dan menguasai suami yang sarjana, apalagi tamatan SMA atau sarjana”.
            Selagi aku dan istriku beradu semi sitegang, anakku yang pertama, Ratna, pulang dengan membawa satu pot bunga bougenvil warna kuning, bagus. Bunga itu dijejer dengan bunga yang kurawat. Aku terpana. Istriku terlihat berlagak terpana. Kami bertiga kemudian terfokus pada bunga itu.
            “Bagus bunganya, Ratna?”, istriku mengawali.
            “Bagus, Bu, minta teman”.
            “Sejak kapan kamu suka bunga, Ratna?”.
            “Ah, Ibu, kan Ayah yang mengawali suka bunga”.
            “Tidak usah dipermasalahkan. Orang punya hak untuk suka dan tidak suka”, aku menyela.
            “Tapi, kok, warnanya merah lagi? Apa tidak ada warna lain?”, istriku mengusik.
            “Haa... !”,  aku dan anakku, Ratna, serempak.
            “Bu, ini warna kuning!”, Ratna membela.
            “Masa bodoh dengan warna. Jangan katakan warna yang lain dihadapanku selain warna merah”.
            Aku diam. Ratna diam. Aku membiarkan istriku berpandangan beda tentang warna.
            Keesokan harinya istriku pulang darimpasar. Di samping membawa sayuran dan buah-buahan, istriku membawa juga satu pot bunga bougenvil berwarna biru. Istriku menyeret perhatianku kepada bunga itu. Bunga itu dijejer di samping bunga yang sudah ada. Jadilah sekarang ada tiga warna bunga bougenvil itu: merah, kuning dan biru. Paduan warna yang menarik.
            “Mas, lihat! Bunga bougenvil yang aku bawa lebih cantik, bukan?”
            “Ya, Jeng!
            “Warna merahnya lebih cerah dan memikat, kan, Mas?”.
            “Aduh, Jeng! Bunga itu warnanya biru, bukan merah!”.  
            “Jangan ngacau, Mas!”.
            “Betul, Jeng! Sumpah, itu warna biru!”.
            “Tidak! Itu warna merah, sumpah!”.
            Anakku, Ratna, ikut membela aku. Tapi kemudian istriku masuk ke dalam membawa sayuran dan buah-buahannya.
            “Ayah, Ibu punya kelainan masalah warna?”.
            “Bukan kelainan. Itu masalah keyakinan”.
            “Keyakinan apa, Yah?”.
            “Keyakinan yang sudah merasuki hati dan pikiran”.
            “Bisa begitu, Yah?”.
            “Bisa saja karena keyakinan itu sudah merasuki hati dan pikirannya. Keyakinan warna merah bisa membungkus semua warna-warna yang lain”.
            “Bisa begitu, Yah?”.
            “Ah, itu juga hanya pikiran-pikiran Ayah yang pas-pasan. Maksudnya hanya ngayawara tidak berlandasan. Cuma waton ngomong”.
            Belum selesai aku bicara-bicara dengan anakku yang pertama, Ratna, anakku yang kedua, Rafi, pulang. Tidak kusangka dia pulang juga membawa satu pot bunga bougenvil berwarna putih. Langsung bunga itu diletakkan berjejer kumpul dengan bunga-bungga bougenvil yang ada.
            “Kak Ratna dan Ayah suka bunga ini?”.
            “Tentu”, Ratna mendahului aku.
            “Dapat dari mana?”, tanyaku.
            “Minta teman, Yah”.
            Sejenak semuanya diam.
            “Ayah, tadi sebagian teman-temanku kelihatan ada yang aneh pada warna bunga ini”.
            “Aneh bagaimana?”.
            “Mereka mengatakan warna bunga bougenvil ini merah, bukan putih. Aku jadi ragu pada diriku, Yah”.
            “Kamu jangan pernah ragu dengan keyakinanmu. Kalau sudah yakin itu warna putih, pegang dan jangan goyah”.
            “Tapi, mereja juga ngotot, Yah. Mereka bilang itu warna merah. Mereka bersumpah”.
            “Jangat terhanyut sumpah. Sumpah kadang hanya sebagai cara mempermudah jalur hubungan sesama”.
            “Tapi, Ayah! Ibu juga punya keyakinan seperti itu”, Ratna menyela.
            “Haa... !”, Rafi kaget. “Ibu punya keyakinan seperti itu sejak kapan?”.
            “Sejak kedatangan bunga bougenvil merah itu”, aku menjawab.
            “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Yah?”.
            “Menurut pendapatmu bagaimana, Ratna?”, aku minta pendapat Ratna.
            “Ayah, kita tidak usah memperuncing perbedaan. Biarlah perbedaan supaya berjalan pada relnya masing-masing”.
            “Ya, begitu saja, Yah!”, Rafi menyetujui.
            “Tidak bisa, Rafi!”, istriku mencekal sambil keluar dari dalam. “Kita harus satu komando. Komandonya adalah saya. Semua harus setuju bunga bougenvil itu semuanya berwarna merah. Rafi, mana bunga bougenvilmu? Jangan katakan warna yang lain di hadapanku selain warna merah”.
            “Ah, Ibu! Mana mungkin warna putih dikatakan merah. Ibu mesti harus periksakan mata Ibu ke spesialis mata”.
            “He, jangan ngawur, Rafi! Ibu ini masih waras. Mungkin kamu, Ratna dan Ayah kaku yang harus ke spesialis mata untuk menyatukan pandangan ke warna merah”.
            Semuanya diam. Rupanya istriku tidak dapat bertoleransi dengan warna lain selain warna merah. Mungkin istriku harus dibawa ke spesialis mata hati. ***
            Lama berselang, diam-diam aku ungsikan sementara empat bunga bougenvil itu untuk mendidnginkan suasana. Aku mengawinkan bunga-bungan bougenvil itu satu sama lain. Lahirlah tiap pot bunga bougenvil dengan warna yang baru. Warna merah menggendong warna kuning, biru dan putih. Warna kuning menggendong warna merah, biru dan putih. Warna biru menggendong warna merah, kuning dan putih. Warna putih menggendong warna merah, kuning dan biru. Sulit membedakan pada empat pot bunga bougenvil yang ada. Kedua anakku mungkin akan kesulitan membedakan mana yang pernah jadi miliknya. Mungkin juga istriku, entah bagaimana reaksinya.
            Empat pot bunga bougenvil sudah kutempatkan lagi di teras rumahku. Tentu ada perbedaan dari sebelumnya. Sekarang warnanya sudah berganda. Tiap pot bunga memancarkan empat warna: merah, putih, kuning dan biru. Pancaran warna bunga itu bagai pelangi empat warna menembus jendela-jendela hati keluargaku. Semringah dan bergairah melengkapi arti pancaran bunga itu pada setiap denyut nadi keluargaku. Itu semua dari apa yang aku rasakan.
            Seiring dengan kenikmatan bergaul bersama bunga-bunga bougenvil itu, aku mengembangkan seribu bunga bougenvil yang lain, tentunya dengan warna-warni yang lain pula. Tak kuduga dengan bunga bougenvil sebanyak itu, aku bisa menikmati dari segi keindahan dan komersial karena ada nilai jual. Yang aku tak tahu sampai saat ini, istriku masih pada keyakinannya bahwa bunga-bunga bougenvil yang warna-warni itu tetap berwarna merah menurut pandangannya.

                                                                                                Kebarongan, 21 Februari 2008

                                                                                                Sugiharto.


           

           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar