BOUGENVIL MERAH
Satu
pot bunga bougenvil merah menghiasi teras rumahku pagi itu. Entah dari mana
datangnya. Semua anggota keluargaku, istri dan kedua anakku yang masih usia kuliahan
menanyakan hal itu. Semua mencari tahu. Kebetulan keluargaku tidak ada yang
menyenangi bunga. Jadi tidak ada yang peduli ada dan tidaknya bunga itu. Hanya
saja semua jadi was-was atas kedatangan bunga itu. Jangan-jangan ada yang
berniat buruk pada keluargaku.
Belum
genap satu hari bunga itu meronta kehausan terpanggang sinar matahari bulan
mei. Mungkin sudah beberapa hari tidak diriram pemiliknya, kasihan. Aku
mendekati bunga itu . Kupegang batangnya, daunnya, lalu bunganya. Waktu aku
pegang bunganya lagi, durinya taak sengaja menyengat tanganku, cukup saki, tak
apa. Kubawa bunga itu ke alam khayalku. “Kamu bagus, kamu cantik. Siapa yang
mengirim kamu ke sini? Yang jelas ada yang
mengirimmu ke sisni. Yang aku tidak mengerti mengapa harus berwarna
merah. Sedangkan warna merah warna yang sedang digandrungi di lingkunganku”.
Sore
hari matahari tidak lagi menyengat muka muka permukaan apa saja. Dengan
segayung air aku mendekat dan menyiram bunga itu. Segar, kelihatan segar. Dari
kesegarannya menyiratkan kata terima kasih yang tak terhingga. Jadilah mualai
saat itu aku menyayangi bunga itu. Dan hari-hariku melaju tanpa sedikitpun
beranjak dari mengingat bunga itu. Tanpa disadari aku selalu dalam dekapan
bunga itu,
Sejak
kehadiran bunga bougenvil merah itu gairah hidupku jadi terasa lebih bermakna,
membangkitkan gairah-gairah baru. Cara ber[kir, cara pandang, cara dengar, cara
bicara, cara bertindak, cara berpendapat, semua serba mengalir dari
gairah-gairah baru. Begitu pula istriku sepertinya ikut mengejar gairah-gairah
di belakang bayang-bayang gairah-gairah yang kumiliki. Artinya istriku mulai
mendekati bingkai aura bunga bougenvil merah itu.
Menyayangi
sesuatu tanpa adanya pengorbanan adalah kebogongan. Aku sendiri menapak menuruti kata hati, tanpa dipaksa dan
terpaksa meluangkan waktu merawat bunga itu, menyiram, memupuk dan menyiangi.
Kuharapkan tentu adanya timbal balik dari apa yang aku berikan. Tidak sia-sia,
sepertinya bunga itu bersolek mempercantik diri, aku tambah menyayangi. Serasa
bunga itu bergelayut di hati dan pikiranku ke mana aku pergi dan di mana aku
berada.
Dua
ahari sebelum bunga itu ada, istriku agak mengurangi tegur sapa, ngambek.
Istriku menyimpan benih konflik, cemburu. Sebabnya, kata tetangga seblah, waktu
aku tidak berada di rumah, kedatangan ibu muda sebaya dengan istriku, tampak
lebih gesit dan cantik daripada istriku, katanya teman lamaku di kampus. Ibu
muda itu cerita ngalor ngidul yang akhirnya istriku mempunyai kesimpulan
sendiri, “Dia pasti mantak titik-titik suamiku, tentu masih ada sisa-sisa
butiran-butiran biji zarah cinta yang sewaktu-waktu dapat tumbuh jika jatuh di
tanah media cinta habitatnya”. Yah, begitulah istriku. Padahal tanpa orang itu
aku tidak dapat bersanding dengan istriku. Pasalnya, waktu itu aku yang cukup
pandai dalam bidang studi tertentu dapat menarik fasilitas atau kemudahan yang
dimilki teman-tmanku anaknya orang kaya. Tentu, pinjam motor atau fasilitas
yang lain untuk modal ngapeli istriku waktu itu.
Suatu
sore, aku duduk-duduk di teras sambil memandang bunga bougenvil merah itu. Istriku
mendekat dengan muka penuh tanya dan masih minim tegur sapa. Angin bertiup
menggoyang bunga itu, goyangan yang ringan mempermainkan mata yang memandang.
Istriku duduk di sampingku, masih seperti biasa menjaga jarak berbicara yang
tergambar di wajahnya. Aku merasa kesulitan menyodorkan kata kunci pembuka
pembicaraan. Oh ya, aku lupa, kalau aku membuka pembicaraan dengan masalah
indahnya bunga itu, paling-paling reaksi istriku sama seperti dulu waktu aku
baru mengenalnya, “Maaf, Mas, aku buta warna. Jadi aku sulit menikmati nuansa-nuansa
warna bunga”. Atau kalau aku menyodorkan masalah keberadaan bunga itu, malah
bisa jadi pemicu hal-hal yang tidak diinginkan, yang ujung-ujungnya oleh
istriku pasti dikaitkan dengan kedatangan tamu beberapa waktu yang lalu.
“Mas?”,
istriku membuka pembicaraan.
“Ya,
Jeng”.
“Mas
punya hobi baru menyayangi bunga?”.
“Ya,
begitulah”.
“Rapanya
pengirim bunga itu tahu etul selera Mas”.
“Ya,
begitulah kira-kira”.
“Jangan-jangan
diberi mantan Mas di kampus”.
Aku
diam sejenak. Aku yang biasanya emosi tidak serta merta mengumbar kata-kata.
Aku malah tersenyum. Dari senyumku, istriku menekuk bibir danmengerutkan kening.
Begitulah reaksi istriku ketika marah, ketika mengatur-ngatur aku, ketika
menguasai aku. Kali ada perubahan pengurangan kemarahan. Bisanya tidak pernah terlepas
dari kata-kata yang menyakitkan. “Aku kurang kratiflah, aku kurang gaullah, aku
kurang inilah, itulah, singkatnya aku penghasilannya kurang dibandingkan dengan
teman-teman seangkatanku dan tetanggaku”. Simpulannya istriku kurang bersyukur
dari apa yang aku berikan. Mungkin sebagian istri-istri keluarga lain yang
berakibat pada di-blacklist-nya atau daftar hitam kebanyakan perempuan di
akherat karena kurang bersyukur atas nafkah dan jerih payah yang diberikan
suaminya. Aku lalu berpikir, “Istri tamatan
SD saja kadang mengatur dan menguasai suami yang sarjana, apalagi tamatan SMA atau
sarjana”.
Selagi
aku dan istriku beradu semi sitegang, anakku yang pertama, Ratna, pulang dengan
membawa satu pot bunga bougenvil warna kuning, bagus. Bunga itu dijejer dengan
bunga yang kurawat. Aku terpana. Istriku terlihat berlagak terpana. Kami
bertiga kemudian terfokus pada bunga itu.
“Bagus
bunganya, Ratna?”, istriku mengawali.
“Bagus,
Bu, minta teman”.
“Sejak
kapan kamu suka bunga, Ratna?”.
“Ah,
Ibu, kan Ayah yang mengawali suka bunga”.
“Tidak
usah dipermasalahkan. Orang punya hak untuk suka dan tidak suka”, aku menyela.
“Tapi,
kok, warnanya merah lagi? Apa tidak ada warna lain?”, istriku mengusik.
“Haa...
!”, aku dan anakku, Ratna, serempak.
“Bu,
ini warna kuning!”, Ratna membela.
“Masa
bodoh dengan warna. Jangan katakan warna yang lain dihadapanku selain warna
merah”.
Aku
diam. Ratna diam. Aku membiarkan istriku berpandangan beda tentang warna.
Keesokan
harinya istriku pulang darimpasar. Di samping membawa sayuran dan buah-buahan,
istriku membawa juga satu pot bunga bougenvil berwarna biru. Istriku menyeret
perhatianku kepada bunga itu. Bunga itu dijejer di samping bunga yang sudah ada.
Jadilah sekarang ada tiga warna bunga bougenvil itu: merah, kuning dan biru.
Paduan warna yang menarik.
“Mas,
lihat! Bunga bougenvil yang aku bawa lebih cantik, bukan?”
“Ya,
Jeng!
“Warna
merahnya lebih cerah dan memikat, kan, Mas?”.
“Aduh,
Jeng! Bunga itu warnanya biru, bukan merah!”.
“Jangan
ngacau, Mas!”.
“Betul,
Jeng! Sumpah, itu warna biru!”.
“Tidak!
Itu warna merah, sumpah!”.
Anakku,
Ratna, ikut membela aku. Tapi kemudian istriku masuk ke dalam membawa sayuran
dan buah-buahannya.
“Ayah,
Ibu punya kelainan masalah warna?”.
“Bukan
kelainan. Itu masalah keyakinan”.
“Keyakinan
apa, Yah?”.
“Keyakinan
yang sudah merasuki hati dan pikiran”.
“Bisa
begitu, Yah?”.
“Bisa
saja karena keyakinan itu sudah merasuki hati dan pikirannya. Keyakinan warna
merah bisa membungkus semua warna-warna yang lain”.
“Bisa
begitu, Yah?”.
“Ah,
itu juga hanya pikiran-pikiran Ayah yang pas-pasan. Maksudnya hanya ngayawara
tidak berlandasan. Cuma waton ngomong”.
Belum
selesai aku bicara-bicara dengan anakku yang pertama, Ratna, anakku yang kedua,
Rafi, pulang. Tidak kusangka dia pulang juga membawa satu pot bunga bougenvil
berwarna putih. Langsung bunga itu diletakkan berjejer kumpul dengan
bunga-bungga bougenvil yang ada.
“Kak
Ratna dan Ayah suka bunga ini?”.
“Tentu”,
Ratna mendahului aku.
“Dapat
dari mana?”, tanyaku.
“Minta
teman, Yah”.
Sejenak
semuanya diam.
“Ayah,
tadi sebagian teman-temanku kelihatan ada yang aneh pada warna bunga ini”.
“Aneh
bagaimana?”.
“Mereka
mengatakan warna bunga bougenvil ini merah, bukan putih. Aku jadi ragu pada
diriku, Yah”.
“Kamu
jangan pernah ragu dengan keyakinanmu. Kalau sudah yakin itu warna putih,
pegang dan jangan goyah”.
“Tapi,
mereja juga ngotot, Yah. Mereka bilang itu warna merah. Mereka bersumpah”.
“Jangat
terhanyut sumpah. Sumpah kadang hanya sebagai cara mempermudah jalur hubungan sesama”.
“Tapi,
Ayah! Ibu juga punya keyakinan seperti itu”, Ratna menyela.
“Haa...
!”, Rafi kaget. “Ibu punya keyakinan seperti itu sejak kapan?”.
“Sejak
kedatangan bunga bougenvil merah itu”, aku menjawab.
“Kalau
begitu, apa yang harus kita lakukan, Yah?”.
“Menurut
pendapatmu bagaimana, Ratna?”, aku minta pendapat Ratna.
“Ayah,
kita tidak usah memperuncing perbedaan. Biarlah perbedaan supaya berjalan pada
relnya masing-masing”.
“Ya,
begitu saja, Yah!”, Rafi menyetujui.
“Tidak
bisa, Rafi!”, istriku mencekal sambil keluar dari dalam. “Kita harus satu
komando. Komandonya adalah saya. Semua harus setuju bunga bougenvil itu
semuanya berwarna merah. Rafi, mana bunga bougenvilmu? Jangan katakan warna
yang lain di hadapanku selain warna merah”.
“Ah,
Ibu! Mana mungkin warna putih dikatakan merah. Ibu mesti harus periksakan mata
Ibu ke spesialis mata”.
“He,
jangan ngawur, Rafi! Ibu ini masih waras. Mungkin kamu, Ratna dan Ayah kaku
yang harus ke spesialis mata untuk menyatukan pandangan ke warna merah”.
Semuanya
diam. Rupanya istriku tidak dapat bertoleransi dengan warna lain selain warna
merah. Mungkin istriku harus dibawa ke spesialis mata hati. ***
Lama
berselang, diam-diam aku ungsikan sementara empat bunga bougenvil itu untuk
mendidnginkan suasana. Aku mengawinkan bunga-bungan bougenvil itu satu sama
lain. Lahirlah tiap pot bunga bougenvil dengan warna yang baru. Warna merah
menggendong warna kuning, biru dan putih. Warna kuning menggendong warna merah,
biru dan putih. Warna biru menggendong warna merah, kuning dan putih. Warna
putih menggendong warna merah, kuning dan biru. Sulit membedakan pada empat pot
bunga bougenvil yang ada. Kedua anakku mungkin akan kesulitan membedakan mana
yang pernah jadi miliknya. Mungkin juga istriku, entah bagaimana reaksinya.
Empat
pot bunga bougenvil sudah kutempatkan lagi di teras rumahku. Tentu ada perbedaan
dari sebelumnya. Sekarang warnanya sudah berganda. Tiap pot bunga memancarkan
empat warna: merah, putih, kuning dan biru. Pancaran warna bunga itu bagai
pelangi empat warna menembus jendela-jendela hati keluargaku. Semringah dan
bergairah melengkapi arti pancaran bunga itu pada setiap denyut nadi
keluargaku. Itu semua dari apa yang aku rasakan.
Seiring
dengan kenikmatan bergaul bersama bunga-bunga bougenvil itu, aku mengembangkan
seribu bunga bougenvil yang lain, tentunya dengan warna-warni yang lain pula.
Tak kuduga dengan bunga bougenvil sebanyak itu, aku bisa menikmati dari segi
keindahan dan komersial karena ada nilai jual. Yang aku tak tahu sampai saat
ini, istriku masih pada keyakinannya bahwa bunga-bunga bougenvil yang
warna-warni itu tetap berwarna merah menurut pandangannya.
Kebarongan,
21 Februari 2008
Sugiharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar