KUCING TUA DAN
TUANNYA
Oleh : Sugiharto
Kucing
tua, hidup dengan tuannya yang masih setia sebagai tempat menyambung hidupnya. Kucing
tua itu sudah tidak kelihatan lagi keperkasaannya. Tatapan matanya sudah redup.
Wajahnya sudah tidak semringah lagi. Kuku-kukunya sudah memanjang keras dan
tumpul, sulit dimasukkan ke sarungnya. Badannya
agak kurus, tidak berisi lagi. Bulu-bulunya menipis tidak mengkilap. Jalannya
sudah lamban sekali bagai anak kecil belajar menghitung jari. Tidak peduli lagi
tikus-tikus menggoda dan menghampiri untuk berkejaran beradu lomba lari.
Pekerjaannya sehari-hari hanya tidur dan sesekali mengharap indahnya mimpi. Dan
yang sangat mengenaskan, ketergantungannya pada jatah makan dari tuannya.
Adalah
satu-satunya kucing yang hidup di kota itu sejak adanya pembantaian masal
seluruh hewan penyebar penyakit rabies di kota itu. Siapa pun yang memiliki
hewan piaraan penyebar penyakit rabies harus menyerahkan kepada pihak
pemerintah kota untuk dimusnahkan. Tidak peduli hewan itu sudah diimunisasi
atau tidak. Bila diketahui ada orang melindungi salah satu binatang penyebar
penyakit itu akan dihukum seberat-beratnya. Untuk itu, supaya diketahui secara
umum pemerintah kota membuat selebaran dan pengumuman lewat pengeras suara
berkeliling. Secara diam-diam, kucing itu sengaja dilindungi dan dipelihara
oleh tuannya. Berbagai cara ditempuh tuannya dari menyembunyikan kucing itu,
menutup semua akses keberadaannya, sampai meredam suaranya supaya tidak terdengar
oleh siapapun. Intinya, kucing itu tidak boleh ada yang tahu keberadaannya di
situ. Jadilah kucing itu menyatu dengan
kesendiriannya, menyatu dengan tuannya.
Ketika para petugas
pemerintah kota menyisir ke rumah-rumah mencari binatang piaraan penyebar
penyakit rabies, rumah tuan kucing itu digeledah. Secara tidak sengaja para
petugas itu menemukan daftar induk kucing yang tergeletak di meja tamu.
Otomatis kucing-kucing yang terdaftar di buku itu sudah diserahkan petugas
semuanya. Hanya keheranan yang ditemukan para petugas pada daftar induk kucing
selengkap itu melebihi daftar harga bahan pokok di pasar induk. Petugas tidak
akan tahu ada satu kucing yang tidak dan belum terdaftar dalam buku induk itu
karena belum lama kedatangannya di rumah itu. Petugas tidak akan menemukan
kucing yang disembunyikan di tempat yang tidak terjangkau siapapun kecuali
tuannya.
Sebelum ada penyebaran penyakit rabies di kota
itu, kucing-kucing di rumah tuan itu ada lebih dari satu dosin. Kucing-kucing
di rumah itu bukan sengaja didatangkan, tetapi datang dengan sendirinya ke situ. Tiap kucing yang
datang ke rumah itu selalu diterima kedatangannya dengan penuh perhatian dan
kasih sayang, melebihi kasih sayang ibu kepada anaknya, sehingga kucing-kucing
akan selalu betah dibuatnya. Selain kasih sayang, ada hal lain yang membuat
kucing-kucing itu betah, salah satunya yaitu kucing-kucing itu diberi makan
makanan yang lezat melebihi suguhan bagi perjamuan di pesta orang-orang elit.
Yang lain, kucing itu diberi nama dengan nama yang diambil dari nama-nama perempuan
bekas kekasih tuannya untuk kucing betina, dan nama rasi bintang untuk kucing
jantan sesuai hari dan tanggal kedatangan kucing itu. Yang menarik, setiap
kucing di situ diajari sopan santun dan saling menghormati yang menuju
kedamaian di antara kucing.
Setiap kucing yang telah masuk ke rumah itu
selalu punya catatan yang lengkap di tangan tuannya. Daftar nama-nama kucing
tertulis lengkap seperti dalam buku induk siswa sebuah sekolah, bahkan lebih
lengkap lagi karena di situ tercatat karakter-karakter kucing yang ditengarai
dari berbagai gerakan seekor kucing sebagai ciri khas tingkahnya. Kucing-kucing
yang telah terdaftar semua diberi label dan tanda milik bagi tuannya. Dalam
label dan tanda milik disertakan pula penanda yang akan mengontrol jauh
dekatnya kucing apabila keluar dari rumah tuannya. Dan kucing, apabila sudah
terlalu jauh keluar dari rumah, penanda akan bergetar dan membisikkan tanda
bahwa kucing itu harus segera kembali ke rumah tuannya.
Tuannya, selagi masih muda,
menjadi idola sebagian wanita. Setiap wanita yang mengidolakan dan kesengsem selalu
diberi harapan kepadanya. Tetapi, tidak satu pun wanita-wanita itu jadi
istrinya. Ia selalu berprinsip perfecsionist dan idealis. Wanita-wanita yang ingin
mendekatinya akan masuk ke dalam daftar olah data kriteria wanita sempurna. Tidak
pernah ditemukan kesempurnaan yang diharapkan dan selalu dicarinya sampai usia
mengiringi condongnya matahari menuju senja. Menyendiri, mempertahankan harga
diri dan sudah tumbuh bayang-bayang ketakutan beristri menghantui, itulah yang disandangnya
hingga kini. Pelariannya, memelihara kucing-kucing sebagai bentuk pelampiasan
yang dianggapnya sebagai wadah menumpahkan berbagai rasa di dalam dada.
Tentu, yang namanya
memelihara makhluk yang bernyawa butuh biaya. Kucing sebanyak itu membutuhkan biaya
hidup yang tidak sedikit. Ada untungnya kucing-kucing itu dimilliki tuannya
yang tidak kekurangan dalam bidang biaya hidup. Tuannya adalah termasuk seorang
yang sukses studi dan berkarir, punya kemudahan dalam memperoleh duwit. Salah
satu bidang yang ditekuni tuannya adalah sebagai free lance journalist atau
wartawan lepas, di samping sebagai pengajar di salah satu perguruan tinggi
swasta di kota itu. Dengan karir inilah tuannya terhanyut dalam lautan keasyikan
melupakan fitroh mencari jodoh. Dari bidang ini juga, tuannya menulis tentang
kucing dari berbgai segi yang dikirimkan dan dimasukkan ke situs internet yang
bermanfaat bagi para pengakses yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kucing,
baik misteri, biologis, kecerdikan, keelokan maupun segala tingkah lakunya.
Kucing tua, merupakan bagian dari proses
menjadi tua dari seekor kucing. Tentunya, sebelum menjadi tua kucing itu pernah
berjaya. Setelah aman dari perburuan binatang-binatang penyebar penyakit rabies,
dan pihak pemerintah kota sudah menyatakan bebas dari penyakit itu, kucing itu oleh tuannya baru dapat dikeluarkan
dari persembunyiannya atau yang lebih ekstrim lagi dari penjaranya. Ketika
kucing itu baru dikeluarkan, langsung matanya memancarkan kebencian pada musuh
bebuyutannya, tikus. Dengan gerakan-gerakan bagian tubuh kucing itu mulai mengendus
di mana keberadaan tikus-tikus yang akan menjadi sasarannya. Dengan gagah,
kuping bergerak ke depan, kuku-kuku terhunus keluar dari sarungnya, kucing itu
melangkah pelan-pelan mendekati sebuah jok kursi model tertutup yang biasanya
menjadi tempat sarang dan persembunyian tikus-tiukus. Kucing menggeram beberapa
kali mengusik tikus supaya keluar dari persembunyiannya. Tangkapan pertama dari
seekor kucing yang cukup lama tidak memakan tikus, dengan buasnya ia mencabik
dan memakan tikus itu. Tapi, satu tikus terbunuh belum berarti apa-apa bagi
tikus-tikus yang lain karena perkembangbiakannya lebih cepat dibandingkan proses
ditelannya tikus dalam perut si kucing yang sehari cukup makan satu tikus. Itupun
apabila si kucing itu tidak terlalu kenyang dan keasyikan diberi makan yang
lezat-lezat oleh tuannya .
Sebenarnya menyayangi dan
hidup dengan kucing-kucing dimulai sejak ayah dan ibunya telah tiada. Sebagai
anak tunggal, ia langsung merasakan kesepian dan kehilangan orang-orang yang dikagumi dan dicintainya. Ibunya lebih
dulu meninggal dari ayahnya Waktu ditinggal ayahnya, ia sedang menyelesaikan
dan melengkapi persyaratan kelulusan sarjana strata satu (S 1) dengan indeks
pestasi tertinggi dan masuk pada nominasi beasiswa studi strata dua (S 2). Yang
mengesan baginya, ketika ayahnya membisikkan pesan-pesan, “Kamu anak tunggal.
Harus mandiri. Jangan cengeng dengan masalah-masalah sepele. Lakukan suatu
pekerjaan dengan nurani, dengan ikhlas tanpa pamrih. Bekerja jangan
pilih-pilih. Cintailah pekerjaanmu seperti kamu mencitai dirimu sendiri. Bersyukur
dan nikmati walaupun sedikit hasilnya, Insya Alloh akan berkah”. Ibunya juga
penah memberi pesan, “Kalau kamu ingin membina rumah tangga, cari wanita yang
lebih muda usianya biar tidak kerepotan kalau tua. Tidak usah terlalu cantik
yang penting hati dan kesetiaannya. Jangan pernah melukai hati wanita, karena
lukanya wanita bisa menghancurkan dunia, dan air matanya bisa menenggelamkan
bulan dan matahari”.
Kini kucingnya sudah tua. Banyak
hal yang disandangnya akibat dari tua. Semua menuju bagian akhir dari proses
antiklimaks. Segala kenikmatan terkikis menipis atau sebagian hilang sama
sekali. Mata dalam kenikmatan memandang sesuatu serba indah, sudah kabur. Mulut, dari perlengkapannya sudah
terkurangi kenikmatannya. Gigi yang menjadi bagian vital mengunyah makanan rontok
dan tanggal sebagian. Lidah sebagai pangkal merasakan makanan, kadang jadi kelu
karena syaraf-syarafnya sudah mengkerut. Tenggorokan juga semakin sulit untuk
menelan karena proses yang sama. Gigi, lidah dan tenggorokan sebagai penghasil
suara lantang yang menakutkat bagi tikus-tikus, kini parau dan mengenaskan. Belum lagi telinganya yang sudah sedikit
budeg, sering mengeluhkan tuannya sewaktu memanggilnya. Dan yang paling
merepotkan tuannya selagi kucing itu buang hajat sembarangan.
Suatu ketika kucing tua dan
tuannya bersanding di teras sore hari. Kucing itu tiduran di matras atau kesed,
sedangkan tuannya duduk di kursi rusban. Keduanya sedang saling memandang
membaca apa yang ada pada diri masing-masing. Tuannya dengan ekspresi wajah
penuh tanya menggabungkan pikiran dan hatinya, “Kucing, kalau dulu kamu aku
serahkan kepada petugas penyisir binatang-binatang penyebar penyakit rabies,
ceritanya tidak akan begini. Kamu tentu sudah dibunuh dan tidak ada ceritanya
lagi”. Kemudian kucing juga menatap sekuat-kuatnya tuannya, “Tuan, seandainya
dulu aku diserahkan kepada petugas penyisir binatang penyebar rabies tidak akan
begini nasibku. Aku sudah mati. Aku tidak menanggung beban kerentaan hari tua.
Aku tidak merepotkan siapa-siapa”. Kemudian tuannya melanjutkan, “Kalau aku
bunuh kamu, aku tidak tega, tidak sampai hati. Kebersamaanku denganmu bisa ternoda.
Di samping itu, aku takut terhantui rasa dosa sebagai pembunuh”. Kucing juga mengungkapkan
lagi, “Aku kasihan, sangat merepotkan Tuan. Aku rela kalau Tuan membunuhku. Penderitaanku
bisa pupus hanya dengan kematian. Tuan jangan ragu, aku hanya seekor kucing.
Selama ini juga aku bergantung segalanya pada Tuan. Tidak ada salahnya kalau
Tuan mengakhiri penderitaanku dengan kematian. Ah, tapi Tuan, jangan pernah
membunuhku, nanti Tuan bisa dosa. Biarlah kematian menjadi bagian dari proses perjalanan
hidupku dengan garis yang telah ditentukan”.
Malam itu, kucing tua itu
sengaja tidur di luar rumah. Pada tengah malam ketika tuannya sudah tidur,
kucing tua itu pergi, entah ke mana hanya sebatas ingin menghilang dan
mengakhiri kerepotan tuannya. Dengan tenaga ketuannya kucing itu menyusri jalan
menuju jalan raya yang sudah cukup lengang, hanya satu dua kendaraan melintas. Pada
saat menyeberang jalan ada kendaran mobil sedan lewat tidak begitu cepat namun bagi kucing tua yang tidak bisa lari,
berakibat buruk tertabrak mobil itu. Mobil itu berhenti dan sopirnya mengetahui
kucing yang tertabrak tidak bergerak lagi, mati. Sopir itu memungut kucing itu dan membawanya pulang untuk dikubur
layaknya orang mati. “Untuk membuang sial dan rasa yang tidak-tidak selama
memegang stir mobil di perjalanan”, kata sopir itu.
Keesokan harinya, ketika
tuannya biasa memanggil kucing itu dengan nama panggilannya “Tiara” sebagai
kucing betina, untuk diberi makan, tidak ada suara kucing menyahut, sepi.
Berkali-kali tuannya memanggilnya, “Tiara, Tiara, kamu di mana?”. Tidak ada
yang menyahut. Sudah berusaha mencari
dan memanggilnya lagi dalam keputusasaan, tetap tidak ada sahutan. Hanya suara
kenangan kucing itu menyahut berkali-kali terngiang dalam ingatan tuannya.
Kebarongan,
14 Februari 2011
Sugiharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar