KUTU DI KEPALA IBU-IBU
Sebuah
pulau, di mana pada pagi sampai siang hari tidak ada laki-laki usia produktif
ada di rumah, semua melaut. Tinggal perempuan, anak-anak dan usia tua sibuk
dengan kegiatannya masing-masing. Sambil menunggu perahu-perahu menepi menambatkan
pencaharian mencari ikan, perempuan-perempuan berkumpul menunggu laki-laki di
pantai tambatan, ngalor ngidul membicarakan apa saja sepanjang mulut belum
terasa bosan memainkan lidah. Ada sambilan yang merupakan keharusan bagi
perempuan-perempuan, mencari kutu.
Sebelum
matahari menancapkan sinarnya lurus di ubun-ubun, perempuan-perempuan sudah
berkumpul di bawah pohon ketapang yang cukup besar untuk berteduh bagi mereka. Mereka
tidak akan memulai kegiatan pencarian kutu sebelum anggota mereka lengkap. Sebelum mereka memulai
mencari kutu, rambut mereka diberi minyak klentik cenceman dari ramuan
bunga-bunga yang wangi supaya tidak berbau apek, di samping supaya kutu tidak
bisa lari cepat karena licin. Mereka duduk melingkar saling membelakangi muka-muka
mereka, masing-masing mengurai rambut temannya dengan jari jemari menelusuri
mencari kutu tersembunyi. Seminggu sekali mereka mengadakan lomba terbanyak
perolehan kutu. Bagi pemenang lomba akan diberi ikan perolehan suaminya sesuai
kesepakatan bersama. Di sela-sela mengadakan lomba salah satu yang menjadi
tetua mereka mengalunkan tembang dengan logat dan intonasi seadanya. Tembang
akan selalu berganti mana kala yang menjadi tetua juga berganti. Pergantian
tetua, tembang juga menjadi salah satu syarat untuk bisa menduduki tetua. Bila
tidak ada yang mampu menembang sebagai pesaing tetua sebelumnya, maka tetua
tetap ajeg tidak diganti. Tembang yang dialunkan tetua saat itu adalah sebagai
berikut, dengan logat Jawa Banyumasan:
“Lunga
golet rejeki
Bismillah
aja lali
Akeh
setitik disyukuri
Gole
bali anyes nang ati
Aja
dumeh olih akeh
Aja
nganti dipangan kabeh
Kudu
dipikir diati-ati
Kanggo
mengko tembe mburi
Menungsa
urip mung sepisan
Aja
pada ketungkul dolanan
Diemut
maring Pengeran
Men
aja kepelu syetan
Nang
dunya aja mung mikir dunya
Sangune
akherat kudu dipikirna
Sangune
amal mlebu sorga
Sangune
dosa mlebu neraka
Aja pada ketemon pati
Yen ora ngrungkebi kanti
Islami
Getun sing ora kewates nang
mburi
Yen nganti akherate apes ora
diurusi
Aja nganti wong urip ora sholat
Yen ora kepengin dilaknat nang akherat
Donya sejagat ora bakal mbangkat
Kanggo nebus pengkhianat sholat
Bejane beja wong sing
sholate direngga
Donya akherate bakal ora
nelangsa
Luwih apik maning wulan
puasa
Kanggo nglebur pirang-pirang
dosa ”.
Betapa
indahnya kebersamaan mencari kutu. Masing-masing saling meraba, memijit dan
memanjakan kepala temannya masing-masing, hingga kadang ada yang
terkantuk-kantuk saking terlenanya dalam tembang dan menarinya jemari di kepala
mereka masing-masing. Perolehan kutu masing-masing ditaruh pada selembar daun
mangkokan yang sudah tua dan berwarna kuning. Sebelum perolehan kutu ditaruh di
daun mangkokan tentu saja kutu sudah dalam keadaan mati. Cara mematikan ada
kalanya digites yaitu dengan menaruh kutu di atas benda keras kemudian dengan punggung
kuku ibu jari kanan atau kiri menekan kutu itu sampai derbunyi “tes”, matilah
kutu itu. Ada juga dengan menaruh kutu di punggung kuku ibu jari kiri, lalu
punggung kuku ibu jari kanan menekan hingga kutu gepeng dan mati. Yang lain,
ada yang suka mematikan kutu dengan menggigit kutu itu yang dirasakan antara
gigi-gigi dan ujung lidah mereka terutama telornya, “ada rasa tersendiri”,
katanya.
Kebersamaan
yang unik mereka mencari kutu di kepala sulit untuk dihilangkan. Sudah pernah
ada usaha dari mereka memberantas kutu-kutu di kepala mereka sampai mencukur
pendek atau bahkan gundul para wanita dan sebagian penduduk desa pulau itu,
namun tidak begitu lama mereka berkutu lagi di kepala. Kecepatan berkembangnya
kutu di kepala mereka secepat tumbuhnya rambut di kepala mereka, karena satu
pasang kutu bisa bertelor enam butir sehari dan akan menetas dalam waktu
delapan hari. Selama mereka tidak punya
kutu di kepala mereka merasa ada yang hilang dalam kebersamaannya. Katanya
tidak berkutu di kepala mereka, kebersamaan tidak asyik dan tidak bermakna. Kebersamaan
sambil menunggu laki-laki melaut banyak bengongnya, dan terasa lucu ketika
sebagian kepala mereka tidak berambut
atau gundul, bagai biksu berkumpul.
Namanya
Nini Cumleng, pekerjaannya ahli petan alias pencari kutu di kepala. Tiap
hari dia berkeliling dengan pekerjaan ini memenuhi panggilan
perempuan-perempuan yang menginginkan jasanya dan dia bisa menghidupi diri dari
sekadar diberi upah makan atau duit seikhlasnya. Dari jasa petan ini juga Nini
Cumleng banyak menaklukkan kepala-kepala perempuan dari tingkatan orang berada
sampai orang tak punya. Selain itu, Nini Cumleng juga bisa mengenal tingkah
laku dan kelakuan tiap-tiap perempuan yang dipetani karena pada setiap
kesempatan melakukan pekerjaannya dia bisa membuka curhat perempuan itu dari
masalah yang lumrah sampai masalah yang tabu. Ada yang tidak dapat ditinggalkan selagi Nini
Cumleng melakukan pekerjaan petan, yaitu nginang atau mengunyah daun sirih
dengan segala ramuannya, yang menjadikan mulutnya monyong dan bibirnya ndobleh
karena sering diganjel tembako sebagai pelengkap menginang. Itulah mengapa juga
bernama atau orang memanggilnya Cumleng, kalau sudah “mecucu” atau monyong kemudian
amleng atau diam.
Ada klangenan di samping petan, yaitu
menyebar virus cerita khayal kepada siapa saja yang membutuhkan. Ramuan-ramuan virus
cerita khayal Nini Cumleng selalu laris didengar perempuan-perempuan yang
dipetani selaris dunia entertainmen melalui layar kaca. Kepandaian bercerita khayal
berbagai hal bagaikan cerita seribu satu malam yang menghibur raja yang lalim sehingga
selalu terlena setiap malam melupakan hasratnya membunuh satu perempuan
persembahannya. Nini Cumleng dengan khayalannya, “Dulu di pulau ini tidak ada
orang yang memiliki kutu atau tuma di kepala. Suatu ketika ada perahu terdampar
di pulau ini yang membawa juragan yang kaya raya dengan beberapa istri yang
cantik-cantik, rupanya mereka sedang mengadakan plesiran ke sebuah pulau indah
jauh di tengah samudra, sehingga bekal mereka juga cukup banyak untuk beberapa
hari atau bahkan beberapa minggu ke depan. Untuk menunggu cuaca yang tidak
bersahabat reda, juragan itu memerintahkan anak buahnya mendirikan tenda, dan
transit beberapa hari di pulau ini. Sementara istri-istri yang cantik dan
dayang-dayangnya yang cantik pula menggelar tikar di bawah sebuah pohon, mereka
duduk-duduk di situ. Kemudian istri-istri yang cantik itu dihadapi dan diurus
oleh satu dayang atau pembantu. Dayang-dayang mengurai rambut panjang istri-istri
dan sesekali kepala istri-istri itu dipijit-pijit serta menemukan kutu di situ.
Penduduk pulau ini, terutama ibu-ibu, beberapa mendekat dan merubung melihat
kekaguman di muka mereka, perempuan-perempuan cantik sedang diurai rambutnya
oleh pembantunya. Selanjutnya terjadi dialog di antara perempuan-perempuan
cantik itu dengan beberapa ibu-ibu penduduk pulau ini”.
“Ibu-Ibu, mari ke sisni! Jangan takut
dan sungkan!”, salah satu perempuan cantik membuka dialog dengan mereka.
“Ya, Den Ayu”, semua serempak dan
mendekat.
“Kami semua cantik-cantik, kan,
Ibu-Ibu?”
“Ya, Den Ayu”.
Sementara saling diam. Ibu-bu
memperhatikan apa yang sedang mereka lakukan. Sesekali mereka lihat pembantu
yang sedang mengurai rambut perempuan cantik menemukan sesuatu yang kemudian ditaruh
pada sebuah wadah seperti wadah tablet.
“Ibu-Ibu, kami sedang mencari kutu. Kutu
sangat berguna sekali untuk menyuburkan rambut kami seperti cacing-cacing tanah
bagi tanaman. Adanya kutu di kepala juga bisa ngurangi sakit kepala karena
darah yang kotor akan dihisapnya. Juga, sepasang kutu apa bila ditelan dengan
pisang emas bisa menyembuhkan penyakit kuning atau lever”.
Ibu-Ibu terbengong, terkagum dan diam.
Hanya sesekali mereka manggut-manggut. Mereka tidak berani bicara menyela.
“Tidak hanya itu, Ibu-Ibu. Kami
mengumpulkan kutu-kutu untuk di jual ke negara Cina sebagai ramuan pengobatan
tradisional di sana. Kalau Ibu-Ibu menginginkan seperti kami mengembangkan kutu
di kepala, boleh Ibu-Ibu mengambil kutu
sepasang-sepasang untuk di taruh di kepala Ibu-Ibu. Kalau suatu saat di
sini sudah banyak kutu yang terkumpul, bisa nanti kami mampir dan mengambil
kutu-kutu tersebut, tentunya dengan imbalan uang sesuai kesepakatan harga kutu
di Cina”.
“Sejak itu di pulau ini berkembang
kutu-kutu di kepala, terutama ibu-ibu, seolah bagai diternak saja layaknya. Menunggu
kepastian dari janji yang pernah ditebarkan si penebar kutu tidak pernah
berujung, tidak pernah ada orang yang
mampir mengambil kutu-kutu di pulau ini”. Begitulah cerita Nini Cumleng.
Cerita Nini Cumleng yang lain terus dan
terus mengalir sejalur dengan berkembangnya kutu-kutu di kepala ibu-ibu. Namun
sayangnya cerita-cerita yang mengalir dari Nini Cumleng tidak ada yang
mengabadikan dan terhempas bersama gelombang tsunami yang menyapu bersih
sebagian pulau-pulau di samudra itu. Gelombang tsunami juga menenggelamkan kebersamaan
ibu-ibu mencari kutu.
Kebarongan, 9 Maret
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar