Minggu, 19 Februari 2012



           
KUTU DI KEPALA IBU-IBU
            Sebuah pulau, di mana pada pagi sampai siang hari tidak ada laki-laki usia produktif ada di rumah, semua melaut. Tinggal perempuan, anak-anak dan usia tua sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sambil menunggu perahu-perahu menepi menambatkan pencaharian mencari ikan, perempuan-perempuan berkumpul menunggu laki-laki di pantai tambatan, ngalor ngidul membicarakan apa saja sepanjang mulut belum terasa bosan memainkan lidah. Ada sambilan yang merupakan keharusan bagi perempuan-perempuan, mencari kutu.
            Sebelum matahari menancapkan sinarnya lurus di ubun-ubun, perempuan-perempuan sudah berkumpul di bawah pohon ketapang yang cukup besar untuk berteduh bagi mereka. Mereka tidak akan memulai kegiatan pencarian kutu sebelum anggota  mereka lengkap. Sebelum mereka memulai mencari kutu, rambut mereka diberi minyak klentik cenceman dari ramuan bunga-bunga yang wangi supaya tidak berbau apek, di samping supaya kutu tidak bisa lari cepat karena licin. Mereka duduk melingkar saling membelakangi muka-muka mereka, masing-masing mengurai rambut temannya dengan jari jemari menelusuri mencari kutu tersembunyi. Seminggu sekali mereka mengadakan lomba terbanyak perolehan kutu. Bagi pemenang lomba akan diberi ikan perolehan suaminya sesuai kesepakatan bersama. Di sela-sela mengadakan lomba salah satu yang menjadi tetua mereka mengalunkan tembang dengan logat dan intonasi seadanya. Tembang akan selalu berganti mana kala yang menjadi tetua juga berganti. Pergantian tetua, tembang juga menjadi salah satu syarat untuk bisa menduduki tetua. Bila tidak ada yang mampu menembang sebagai pesaing tetua sebelumnya, maka tetua tetap ajeg tidak diganti. Tembang yang dialunkan tetua saat itu adalah sebagai berikut, dengan logat Jawa Banyumasan:
            “Lunga golet rejeki
            Bismillah aja lali
            Akeh setitik disyukuri
            Gole bali anyes nang ati
                        Aja dumeh olih akeh
                        Aja nganti dipangan kabeh
                        Kudu dipikir diati-ati
                        Kanggo mengko tembe mburi
            Menungsa urip mung sepisan
            Aja pada ketungkul dolanan
            Diemut maring Pengeran
            Men aja kepelu syetan
                        Nang dunya aja mung mikir dunya
                        Sangune akherat kudu dipikirna
                        Sangune amal mlebu sorga
                        Sangune dosa mlebu neraka
Aja pada ketemon pati
Yen ora ngrungkebi kanti Islami
Getun sing ora kewates nang mburi
Yen nganti akherate apes ora diurusi

Aja nganti wong urip ora sholat
Yen ora kepengin dilaknat nang akherat
Donya sejagat ora bakal mbangkat
Kanggo nebus pengkhianat sholat
Bejane beja wong sing sholate direngga
Donya akherate bakal ora nelangsa
Luwih apik maning wulan puasa
Kanggo nglebur pirang-pirang dosa ”.

            Betapa indahnya kebersamaan mencari kutu. Masing-masing saling meraba, memijit dan memanjakan kepala temannya masing-masing, hingga kadang ada yang terkantuk-kantuk saking terlenanya dalam tembang dan menarinya jemari di kepala mereka masing-masing. Perolehan kutu masing-masing ditaruh pada selembar daun mangkokan yang sudah tua dan berwarna kuning. Sebelum perolehan kutu ditaruh di daun mangkokan tentu saja kutu sudah dalam keadaan mati. Cara mematikan ada kalanya digites yaitu dengan menaruh kutu di atas benda keras kemudian dengan punggung kuku ibu jari kanan atau kiri menekan kutu itu sampai derbunyi “tes”, matilah kutu itu. Ada juga dengan menaruh kutu di punggung kuku ibu jari kiri, lalu punggung kuku ibu jari kanan menekan hingga kutu gepeng dan mati. Yang lain, ada yang suka mematikan kutu dengan menggigit kutu itu yang dirasakan antara gigi-gigi dan ujung lidah mereka terutama telornya, “ada rasa tersendiri”, katanya.
            Kebersamaan yang unik mereka mencari kutu di kepala sulit untuk dihilangkan. Sudah pernah ada usaha dari mereka memberantas kutu-kutu di kepala mereka sampai mencukur pendek atau bahkan gundul para wanita dan sebagian penduduk desa pulau itu, namun tidak begitu lama mereka berkutu lagi di kepala. Kecepatan berkembangnya kutu di kepala mereka secepat tumbuhnya rambut di kepala mereka, karena satu pasang kutu bisa bertelor enam butir sehari dan akan menetas dalam waktu delapan hari.  Selama mereka tidak punya kutu di kepala mereka merasa ada yang hilang dalam kebersamaannya. Katanya tidak berkutu di kepala mereka, kebersamaan tidak asyik dan tidak bermakna. Kebersamaan sambil menunggu laki-laki melaut banyak bengongnya, dan terasa lucu ketika sebagian kepala mereka  tidak berambut atau gundul, bagai biksu berkumpul.
            Namanya Nini Cumleng, pekerjaannya ahli petan alias pencari kutu di kepala. Tiap hari dia berkeliling dengan pekerjaan ini memenuhi panggilan perempuan-perempuan yang menginginkan jasanya dan dia bisa menghidupi diri dari sekadar diberi upah makan atau duit seikhlasnya. Dari jasa petan ini juga Nini Cumleng banyak menaklukkan kepala-kepala perempuan dari tingkatan orang berada sampai orang tak punya. Selain itu, Nini Cumleng juga bisa mengenal tingkah laku dan kelakuan tiap-tiap perempuan yang dipetani karena pada setiap kesempatan melakukan pekerjaannya dia bisa membuka curhat perempuan itu dari masalah yang lumrah sampai masalah yang tabu.  Ada yang tidak dapat ditinggalkan selagi Nini Cumleng melakukan pekerjaan petan, yaitu nginang atau mengunyah daun sirih dengan segala ramuannya, yang menjadikan mulutnya monyong dan bibirnya ndobleh karena sering diganjel tembako sebagai pelengkap menginang. Itulah mengapa juga bernama atau orang memanggilnya Cumleng, kalau sudah “mecucu” atau monyong kemudian amleng atau diam.
Ada klangenan di samping petan, yaitu menyebar virus cerita khayal kepada siapa saja yang membutuhkan. Ramuan-ramuan virus cerita khayal Nini Cumleng selalu laris didengar perempuan-perempuan yang dipetani selaris dunia entertainmen melalui layar kaca. Kepandaian bercerita khayal berbagai hal bagaikan cerita seribu satu malam yang menghibur raja yang lalim sehingga selalu terlena setiap malam melupakan hasratnya membunuh satu perempuan persembahannya. Nini Cumleng dengan khayalannya, “Dulu di pulau ini tidak ada orang yang memiliki kutu atau tuma di kepala. Suatu ketika ada perahu terdampar di pulau ini yang membawa juragan yang kaya raya dengan beberapa istri yang cantik-cantik, rupanya mereka sedang mengadakan plesiran ke sebuah pulau indah jauh di tengah samudra, sehingga bekal mereka juga cukup banyak untuk beberapa hari atau bahkan beberapa minggu ke depan. Untuk menunggu cuaca yang tidak bersahabat reda, juragan itu memerintahkan anak buahnya mendirikan tenda, dan transit beberapa hari di pulau ini. Sementara istri-istri yang cantik dan dayang-dayangnya yang cantik pula menggelar tikar di bawah sebuah pohon, mereka duduk-duduk di situ. Kemudian istri-istri yang cantik itu dihadapi dan diurus oleh satu dayang atau pembantu. Dayang-dayang mengurai rambut panjang istri-istri dan sesekali kepala istri-istri itu dipijit-pijit serta menemukan kutu di situ. Penduduk pulau ini, terutama ibu-ibu, beberapa mendekat dan merubung melihat kekaguman di muka mereka, perempuan-perempuan cantik sedang diurai rambutnya oleh pembantunya. Selanjutnya terjadi dialog di antara perempuan-perempuan cantik itu dengan beberapa ibu-ibu penduduk pulau ini”.   
“Ibu-Ibu, mari ke sisni! Jangan takut dan sungkan!”, salah satu perempuan cantik membuka dialog dengan mereka.
“Ya, Den Ayu”, semua serempak dan mendekat.
“Kami semua cantik-cantik, kan, Ibu-Ibu?”
“Ya, Den Ayu”.
Sementara saling diam. Ibu-bu memperhatikan apa yang sedang mereka lakukan. Sesekali mereka lihat pembantu yang sedang mengurai rambut perempuan cantik menemukan sesuatu yang kemudian ditaruh pada sebuah wadah seperti wadah tablet.
“Ibu-Ibu, kami sedang mencari kutu. Kutu sangat berguna sekali untuk menyuburkan rambut kami seperti cacing-cacing tanah bagi tanaman. Adanya kutu di kepala juga bisa ngurangi sakit kepala karena darah yang kotor akan dihisapnya. Juga, sepasang kutu apa bila ditelan dengan pisang emas bisa menyembuhkan penyakit kuning atau lever”.
Ibu-Ibu terbengong, terkagum dan diam. Hanya sesekali mereka manggut-manggut. Mereka tidak berani bicara menyela.
“Tidak hanya itu, Ibu-Ibu. Kami mengumpulkan kutu-kutu untuk di jual ke negara Cina sebagai ramuan pengobatan tradisional di sana. Kalau Ibu-Ibu menginginkan seperti kami mengembangkan kutu di kepala, boleh Ibu-Ibu mengambil kutu  sepasang-sepasang untuk di taruh di kepala Ibu-Ibu. Kalau suatu saat di sini sudah banyak kutu yang terkumpul, bisa nanti kami mampir dan mengambil kutu-kutu tersebut, tentunya dengan imbalan uang sesuai kesepakatan harga kutu di Cina”.
“Sejak itu di pulau ini berkembang kutu-kutu di kepala, terutama ibu-ibu, seolah  bagai diternak saja layaknya. Menunggu kepastian dari janji yang pernah ditebarkan si penebar kutu tidak pernah berujung, tidak pernah ada orang  yang mampir mengambil kutu-kutu di pulau ini”. Begitulah cerita Nini Cumleng.
Cerita Nini Cumleng yang lain terus dan terus mengalir sejalur dengan berkembangnya kutu-kutu di kepala ibu-ibu. Namun sayangnya cerita-cerita yang mengalir dari Nini Cumleng tidak ada yang mengabadikan dan terhempas bersama gelombang tsunami yang menyapu bersih sebagian pulau-pulau di samudra itu. Gelombang tsunami juga menenggelamkan kebersamaan ibu-ibu mencari kutu.
                                                                                   
Kebarongan, 9 Maret 2011
                                                                                                                                                                       
           
           
                       
           
           
           
           
           
           
           
           


           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar