KARTO KROTO
Oleh : Sugiharto
Sudah
turun temurun keluarga Karto mencari kroto. Karto adalah generasi ke tujuh
pencari kroto di keluarga itu. Jarang atau
tidak ada keluarga lain pencari kroto di daerah itu. Kalau pun ada
pencari-pencari kroto yang lain, tentu tidak seprofesional keluarga Karto.
Keprofesionalan Karto menjadi satu sebab kesuksesannya. Jadilah nama yang
melekat pada Karto , Karto Kroto.
Pada awalnya Karto tidak mau
meneruskan warisan sebagai pencari kroto, merasa nista bila menyandang predikat
itu. Berbagai cara Karto membuat alasan untuk menolaknya. Tapi, itu tidak akan
menyurutkan keluarga Karto untuk menjadikan Karto pewaris satu-satunya yang
sudh cukup dewasa. Kakak Karto, Kartem,
tidak mungkin mewarisi sebagai pencari kroto, karena perempuan dan sudah menikah. Adik Karto, Kartiyem, juga
perempuan, usia belasan tahun harus membantu ibunya berjualan di pasar. Dengan demikian, mau
tidak mau Karto harus menerima warisan
itu.
Hal yang tidak pernah
terlupakan bagi Karto adalah ketika ayah Karto mewisudanya menjadi pencari
kroto. Waktu itu Karto harus melalui tahapan-tahapan wisuda. Tahap pertama,
Karto harus berpuasa selama satu minggu. Tahap kedua, Karto harus bisa memanjat
pohon alba di dekat rumahnya, sedikitnya sepuluh kali sehari selama satu
minggu. Dan tahap ketiga, tahap terakhir,
bagi Karto adalah tahap yang sangat memberatkan dan memilukan. Karto harus merangkul pohon alba dengan
telanjang dada selama satu hari dan pohon alba itu dipenuhi dengan satu sarang
semut klangkrang. Itupun belum selesai,
Karto harus merangkak menghadap ayahnya dan sekaligus akan diberi tanda wisuda di pangkal lengan
kanannya dengan menggoreskan jarum kecil yang diolesi getah biji jambu mete seperti
cara imunisasi cacar jaman dulu. Jadilah tanda yang membekas selama-lamanya,
bagaikan tato permanen.
Selesai acara wisuda, selanjutnya
Karto harus menyiapkan alat pencari kroto. Sebatang bambu kecil panjang lurus
harus didapatnya. Tidak mudah mendapat bambu yang dimaksudkan. Kecuali harus
didapat di tebing yang cukup sulit dijangkau, musim tua juga harus dipikirkan
kalau bambu yang didapat tidak ingin cepat termakan rayap bambu. Alat lain
adalah sebuah kerucut kukusan dari anyaman bambu, yang nantinya akan ditaruh di
iujung bambu meraih sarang semut klangkrang sebagai wadah kroto. Alat-alat itu
semua harus direndam dalam air berlumpur selama satu minggu untuk mendapatkan keawetan. Syarat
lain, setelah kering, alat-alat itu harus dipoles dengan pewarna pucuk daun
jati muda sebagai ciri khas warna keberanian keluarga Karto, merah muda. Pencarian
kroto dilakoni setiap hari. Ada kejadian yang tidak pernah terlupakan bagi
Karto. Ketika memulai menjulurkan alat bambu membidik sebuah sarang semut
klangkrang yang cukup jauh dan tinggi dari jangkauannya, juga kebetulan lurus
dengan tatapan sinar matahari, ternyata bukan sarang semut klangkrang yang
diogrok, tetapi sebuah sarang tawon baluh yang cukup besar. Karuan saja, semua
tawon di sarang itu bubar dan marah, memburu pengusik kedamaian tawon-tawon
itu. Karto yang sedang asyik mengogrok di bawah silaunya tatapan matahari,
seketika kaget dari amukan tawon-tawon yang marah. Karto secepat kilat melorot
dari pohon itu dan lari terbirit menuju sungai mencebur di dalamnya. Sial,
sungai itu tidak terlalu dalam airnya, sehingga Karto tetap tersengat beberapa
tawon itu pada bagian badan yang tidak terbenam ke dalam air. Ada yang lain,
perih bagian badan yang babak belur terasa lebih perih karena bersentuhan
dengan air. Belum lagi, alat vitalnya juga terasa hilang karena tertekan selagi
melorot secepat kilat.
Pada
umumnya nama laki-laki di daerahnya Karto berakhir dengan huruf “o”,
seperti: Saryo, Bejo, Parmo, Karno, Sito, Sono, Mono, Karso, Darno dan lain-lainnya. Katanya dengan nama berakhir
huruf vokal “o”, seorang lelaki akan dapat menyampaikan suara isi hati secara tenang,
lugas dan polos, ceplas-ceplos, tidak tedeng aling-aling. Lain halnya dengan nama-nama
untuk perempuan. Nama-nama untuk perempuan berakhir bersajak “em”, seperti: Kasem,
Kasiem, Sanem, Mijem, Dakem, Bonem, Marisem, Ayem dan lain-lainnya, berakhir
dengan mulut membungkam atau mingkem. Katanya perempuan dengan nama yang
berakhir dengan “em” akan mudah dan penurut dalam membangun rumah tangga, tidak
neka-neka dan tidak banyak bicara, damai adem ayem, sendika dawuh, “sorga nunut neraka katut”, katanya. Itulah nama. Bagi sebagian
orang, apalah artinya sebuah nama. Tapi, bagi sebagian yang lain, nama adalah
harapan dan doa yang membimbing seseorang di dunia dan akhirat.
Tidak terlalu lama Karto
menjadi pengusaha kroto dan tidak lagi sebagai pencari kroto. Waris mewarisi
sebagai pencari kroto sudah diputus siklusnya, tidak akan ada lagi waris
mewarisi pencari kroto di keluarganya. Kali ini Karto menguasai pemasaran kroto
di daerahnya. Dihimpunnya beberapa tenaga untuk membantu usahanya. Ada tenaga
khusus pencari kroto. Ada tenaga penghimpun dan pemasarannya. Di samping itu,
Karto juga berusaha memelihara atau beternak kroto di pekarangannya. Hal ini bagi
Karto supaya tidak pernah kehabisan stok kroto.
Ada yang sulit untuk
diketahui ada rahasia apa burung-burung ocehan yang diberi makan krotonya Karto,
akan mengoceh dengan ocehan yang sangat indah dan merdu melebihi ocehan
biasanya. Ini yang menjadikan krotonya Karto jadi pendengan atau langganan yang
memburu bagi para pemelihara burung
ocehan. Bahkan ada kalanya burung-burung yang telah pernah diberi pakan
krotonya Karto akan ngambek tidak mau makan dan mengoceh bila diberi pakan
kroto selain krotonya Karto.
Melihat dari dekat lingkungan
pekarangan milik Karto sudah menjadi tempat sarang-sarang ternak kroto. Untuk
itu, Karto sudah menyiapkan tanaman pepohonan yang daunnya cukup lebar untuk
dijadikan sarang bagi jenis semut klangkrang untuk menghasilkan telor atau anak
yang disebut kroto. Bergelantungan sarang-sarang klangkrang di pepohonan bak
gumpalan-gumpalan bola hijau. Ada kalanya sarang-sarang klangkrang berwarna
kuning atau hitam karena sarang yang terbuat dari daun sudah lama atau tua. Di
situlah sarang-sarang klangkrang sudah bisa diunduh atau dipanen krotonya.
Yang menjadi dasar melangkah
kemajuan Karto adalah keberanian dalam mencari peluang usaha yang lain, yang
dimulai dari keberanian Karto memutus mata rantai turun temurun keluarga
pencari kroto. Usaha yang sedang digeluti Karto adalah penangkaran berbagai
jenis burung ocehan yang mau memakan kroto: kutilang, jalak, kepudang, trocokan,
cicak rowo, goci, sirdung, kedasih, prenjak, sikatan, beo dan burung-burung
asing yang lain pemakan kroto. Untuk itu, Karto membuat rumah burung ukuran
besar dengan atap kawat kasa seperti di taman burung, yang membuat
burung-burung betah, terlepas seperti di habitatnya. Tidak cukup sampai di
situ, Karto punya ide membangun taman
burung sekala besar dengan mengisi koleksi burung dari berbagai penjuru
daerah dan akan menamakan “Taman Burung Kroto”. Akhirnya, Karto terdaftar
menjadi anggota pencinta burung yang cukup terkenal.
Burung ocehan favorit Karto
adalah burung beo. Burung-burung beo dilatih menirukan berbagai pembicaraan. Cara
melatih burung-burung beo bicara dilakukan Karto melalui tahapan-tahapan yang
unik cara Karto. Pertama, tahap pemilihan burung yang berkualitas nyaring
suaranya, tentunya burung jantan, diketahui dari suara itu apabila burung dalam
genggaman yang cukup kuat meronta dan mengeluarkan suaranya. Kedua, burung beo
dipotong sedikit ujung lidahnya dengan gunting kecil yang dipesan khusus berukuran
paruh atau cucuk burung beo itu sendiri, yang terbuat dari emas. Ketiga, seminggu
sekali burung beo itu harus di kerok lidahnya seperti diamplas halus, dengan
cincin emas. Keempat, burung beo itu kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang
diberi selubung kain sarung sutera. Kelima, burung beo harus minum air ludah
Karto dengan cara paruh burung dimasukkan ke dalam mulut Karto. Keenam, burung
beo itu disetelkan bunyi-bunyian melalui tape recorder atau CD sesuai keinginan
Karto atau pesanan orang lain, terutama bunyi jawaban salam, “ ‘Alaikum Salam”.
Burung-burung beo yang sudah bisa berbicara sesuai keinginan itu selalu habis
dibawa orang, artinya laku terjual, dengan diringi satu paket kata-kata Karto,
“Jangan pernah mengajari dan memperdengarkan kata-kata jelek atau kotor pada
burung beo itu, karena burung beo hanya sebatas membeo”.
Hari-hari Karto tiada hari
tanpa burung beo. Pagi hari setelah
subuh, Karto meneliti memastikan
burung-burung beo yang sedang dalam proses latihan bicara masih berada di dalam
kurungannya masing-masing. Agak siang sedikit, waktu matahari terbit, Karto
mengeluarkan kurungan-kurungan berisi burung beo ke halaman yang cukup terkena
sinar matahari. Selagi matahari memberikan kehangatannya, Karto mulai
memandikan burung-burung beo itu dengan alat semprotan kecil yang bisa
menghasilkan semprotan air yang lembut membelai membasahi burung-burung beo
itu. Setelah matahari cukup tinggi dan terasa menyengat pori-pori dan
burung-burung beo sudah kelihatan kering, kemudian kurungan-kurungan itu
ditutup lagi dengan kain sarung sutra. Lalu, Karto menyetel bunyi-bunyian
dengan tape recorder kecil sesuai paket bunyi yang diinginkan di setiap burung beo
yang ada dalam kurungan itu.
Sudah puluhan burung beo
bisa bicara melalui ketelatenan Karto. Sebagian besar burung-burung beo itu
dimiliki oleh orang-orang yang memilki kemudahan dalam mencari duit dengan cara
tidak semestinya. Tidak heran kalau burung-burung beo itu juga terpengaruh
lingkungan orang-orang tersebut. Burung-burung beo itu menjadi banyak
bertingkah dan bicara tidak nggenah, ngalor ngidul tidak karuan. Ada kalanya
burung-burung beo itu bicara saru dan jorok, melebihi saru dan joroknya pembicaraan
wanita sundal. Burung-burung beo itu
malah dianggap hebat dan unik oleh pemiliknya karena bisa bicara saru dan jorok,
pemiliknya bahkan merasa bangga dan tertawa melonjak ketika burung beo itu
bicara seperti yang dimaksudkan.
Suatu ketika ada pejabat
datang dengan para ajudannya ke rumah Karto mebawa burung beo. Rupanya dia salah satu pemilik
burung-burung beo hasil didikan Karto. Burung beo itu dikeluarkan dari
mobilnya. Belum sempat bicara apa pun orang itu di depan Karto, burung beo itu mendahului
bicara.
“Tolong! Tolong! Keluarkan aku! Tolong aku,
Karto!”
“Maaf, Pak Karto! Selama ini
burung beo ini bicaranya aneh-aneh. Sering nglantur, mengatakan yang
tidak-tidak kepada seluruh anggota keluarga saya”, begitu pejabat itu
mengatakan atau wadul kepada Karto. “Saya minta ditukar dengan burung beo yang
lain yang sudah bisa bicara”, tambahnya.
Belum dijawab oleh Karto,
burung beo itu mendahului berkata, menyela.
“Jangan mau! Jangan mau! Pejabat
koruptor! Pejabat koruptor!”
Karto tersenyum. Sebaliknya,
pejabat itu menampakkan wajah yang marah dan kecewa. Tidak menduga burung beo
itu menohok dirinya seperti itu.
Karto diam saja. Dia tidak
akan mengatakan bahwa burung beo berulah seperti itu tentu sebagai gambaran pemiliknya.
“Begini, Pak. Untuk mengembalikan
burung beo bicara yang baik-baik itu sulit. Sebaiknya burung itu dilepas saja
dulu biar terbang ke mana saja mencari jati diri lagi di alamnya, melupakan
kata-kata yang telah didengarnya”, begitu Karto memberi saran. “Sebaiknya,
sementara Bapak tidak memiliki burung beo dulu”, tambahnya.
Pejabat itu tidak bisa menyangkal
dan menolak kata-kata Karto. Tapi, dilihat dari wajahnya pejabat itu suka rewel
dan biasa protes, terutama biasa protes kepangkatan di kantornya yang
ujung-ujungnya masalah duit. Betul juga, dengan wajah yang memerah dia tetap
beralasan seperti memaksa menginginkan seekor burung beo lagi.
“Jauh-jauh saya datang, Pak
Karto. Saya harus membawa pulang burung beo. Berapapun harganya”.
“Jangan memaksa seperti itu,
Pak! Saya tidak akan bertransaksi karena terpaksa, Pak. Tidak baik akibatnya”.
“Sekali lagi, Pak Karto!
Saya pulang harus membawa burung beo! Bagaimanapun caranya! Keinginan saya
tidak boleh tertunda”, pejabat itu menampakkan kekuasaannya.
“Jangan paksakan begitu,
Pak! Saya paling tidak suka kalau dipaksa”.
“Apa? Pak Karto belum tahu
siapa saya, yah! Dasar, Karto Kroto!”.
Tidak diduga sama sekali,
burung beo yang dibawa pejabat itu mendengar kata-kata “Karto Kroto”, sepontan menirukan
kata-kata itu berkali-kali hingga terdengar oleh burung-burung beo yang lain
yang sedang dalam taraf latihan bicara. Semua burung beo yang ada di rumah
Karto berkali-kali mengulang kata-kata “Karto Kroto”. Kata-kata itu seperti
menjadi kata-kata kunci bagi segala jenis burung yang lain di rumah Karto,
lepas dari kurungannya. Lalu, burung-burung yang lepas itu secara mendadak terbang
memburu pejabat itu beserta rombongannya yang sedang menuju mobilnya, serempak tanpa
ampun mematuk mereka berkali-kali.
Kebarongan,
16 Januari 2011
Sugiharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar