Minggu, 19 Februari 2012


ANTARA BUNTU – PURWOKERTO

            Suatu kepentingan mengharuskan aku untuk sampai di Purwokerto satu jam mendatang. Padahal, aku sendiri tidak punya kendaraan untuk memburu waktu yang disediakan itu.  Jalan satu-satunya naik kendaraan umum, mikro bus unyil. Itupun tidak menjamin sampai di Purwokerto tepat waktu karena bersamaan dengan jam sibuk. Kusadari hal itu tidak akan terlaksana tepat waktu di Purwokerto.
Aku memulai perjalanan lewat perhentian angkutan di Buntu. Aku menaiki angkutan yang sedang ngetem. Di dalam angkutan semua sudah terisi tempat duduknya, kecuali di dekat pintu. Aku duduk sambil melihat-lihat ke luar. Kernet sedang sibuk cari penumpang. Si Supir sambil merokok sesekali jari telunjuk tangan kirinya ngupil asyik sekali. Kemudian serombongan anak sekolah, merangsek masuk walaupun tidak bertempat duduk. Angkutan mulai jalan setelah Kernet memberi isyarat kepada supir ada angkutan serupa sedang datang di belakangnya.
Angkutan bergerak meninggalkan kota Buntu menuju kota Purwokerto. Di tanjakan Cemuris desa Pageralang ada orang membawa dua ekor kambing menyetop angkutan yang aku naiki, biasanya akan dijual di pasar Banyumas. Mobil berhenti. Kernet menaikan dua ekor kambing itu, rupanya  jantan dan betina. Kemudian angkutan melaju cukup kencang.
Memasuki tanjakan perkebunan karet Krumput, mobil tidak bisa melaju kencang, harus merayap urut-urutan cukup panjang karena ada dua truk tronton yang sedang menanjak pelan sekali. Aku mulai merasakan pengap sekali berbau macam-macam dari bau ketiak Kernet, asap rokok, parfum murahan, sampai bau kambing bandot, bengik. Di sepanjang tanjakan perkebunan karet aku lihat sudah berderet orang mengais uang dari mobil-mobil yang lewat, baik yang menanjak maupun yang turun, katanya untuk keselamatan, jadi harus membuang uang di situ. Kalau dulu, kata orang-orang tua, yang menghadang orang-orang pejalan kaki yang mau pasar atau baru pasar Banyumas adalah sekawanan kera yang meminta makanan apa saja, terutama buah-buahan.
Tanjakan sudah terlewati,  tinggal turun berkelok-kelok. Di desa Karangrau dua orang turun, sekaligus juga ada dua orang ibu yang naik masing-masing menggandeng anak usia sekolah dasar, rupanya mereka berdua murid Sekolah Luar Biasa (SLB) di Banyumas, ada tulisan identitas  di kedua baju anak itu. Aku mengamati kedua anak itu. Dari kedua wajah anak itu sepertinya kembar, tapi masing-masing disanding ibu yang berbeda. Aku jadi teringat, kata orang kalau anak-anak yang punya keterbelakangan mental rata-rata memiliki wajah yang hampir sama, ada yang mengistilahkan kembar dunia.
Di RSU Banyamas beberapa penumpang turun, termasuk anak-anak sekolah yang sekolah di dekat RSU Banyumas. Mobil aku rasakan tidak sesak lagi. Sementara itu mobil ngetem, dua anak siswa SLB kelihatan sedang mengamati dua ekor kambing di depannya. Mereka berdialog menggelikan sekali, kasihan.
“Kambing kok tidak pakai celana, ya?  Kata Ibu kalau tidak pakai celana,  kan malu”.
“Iya, yah! Tidak malu“.
“Kambingnya juga tidak sekolah, kasihan, yah!”.
“Iya, kasihan. Kata ibu kalau mau sekolah akan dibelikan kembang gula”.
Kedua ibu anak itu senyum-senyum terpendam.
Mobil kembali jalan setelah beberapa penumpang naik. Berjalan beberapa ratus meter aku lihat Pengadilan Negeri Banyumas. Aku jadi teringat pernah masuk di gedung itu. Gara-garanya sepele, aku naik sepeda motor tidak dilengkapi dengan kaca sepion, ditilang di jalan. Aku ngeyel karena harus membayar denda empat puluh ribu rupiah. Waktu itu aku tidak membawa uang sebanyak itu. Begitulah, aku harus menghadiri sidang di gedung itu. Sidang itu sendiri serba singkat, hanya dipanggil namanya, duduk, ditunjukkan pelanggarannya, lalu disebutkan uang denda pelanggarannya, sudah cukup.
Di alun-alun Banyumas berhenti, ada yang turun. Aku lihat di sebelah timur alun-alun  ada  penjara, di sebelah barat ada Masjid. DI utara alun-alun, di situ Pemerintahan Kabupaten Banyumas sebelum pindah ke Purwokerto. Kepindahannya katanya karena sering banjir atau blabur. Entah ada misteri apa di alun–alun juga ada pohon beringin. Yang jelas, menyatunya tempat Pemerintahan Kabupaten, Masjid, penjara, alun-alun dan pohon beringin  di alun-alun ada maksud tertentu bagi pemerinthahan pada saat itu.
Tidak ada orang yang naik dan turun hingga sampai pasar Banyumas. Bus berhenti. Lewat jendela, mataku terpana pada buah-buahan yang dipajang di depan pintu pasar. Anggur merah yang digantung mengusik ingatanku. Ketika istriku ngidam anakku yang pertama bayanganku istriku akan meminta anggur merah yang aku tawarkan, padahal aku  cuma basa basi karena aku tidak punya uang.  Untungnya istriku cuma minta dibelikan gesek atau ikan asin. Sedang asyik menghayalkan buah anggur, kaki kananku terhentak secara refleks karena ada yang terasa aneh. Kakiku dikencingi kambing yang akan diturunkan. Celana dan sepatuku basah. “Aduh, sial!”, pikirku. Tapi aku tidak akan marah. Tidak ada yang harus aku marahi. Semua aku sadari tidak ada kesengajaan. Aku hanya bisa merasakan dampak dunia hewan yang tidak punya pikiran dan perasaan.
Mobil ngetem lagi di pasar Banyumas.
Sementara aku sedang merasakan dikencingi kambing, tiba-tiba ada ibu-ibu keluar dari pasar tergopoh-gopoh menghampiri kernet yang sedang mencari penumpang.
“Net, Kernet! Uangku hilang! Kecopetan!”.
“Ha, kecopetan?”.
“Iya, Net! Aku tidak pernah kecopetan sebelumnya”.
Kernet diam saja.
“Net, Kernet! Aku kapok naik mobil kamu. Tidak akan pernah naik mobil kamu lagi, ada copetnya”.
Kernet sebenarnya tahu persis tiap kali ada pencopet naik,  tapi kernet tidak mau tahu risiko negatif bila tidak berbaikan dengan para copet. Copet bisa bertindak nekat bila tidak diberi peluang beraksi.
Rupanya penumpang turun semua di pasar Banyumas, tinggal aku sendirian. Setelah mobil ngetem cukup lama dan tidak dapat penumpang, kernet menyuruh aku pindah ke angkutan lain jurusan yang sama yang baru berhenti di depannya. Aku dioper, masuk ke angkutan lain, bus tiga perempat, lebih besar dari yang aku naiki semula. Sudah penuh, mengharuskan aku berdiri.
Bus berjalan melintas di atas jembatan sungai Serayu. Air sungai Serayu tidak terlalu besar. Aku lihat di sisi sebelah barat jembatan beberapa orang berjajar sedang memancing. Jauh di sebelah barat sejauh mata memandang, aku lihat perahu-perahu kecil sedang mengambang dipakai pencari atau penambang pasir. Kisah penambang pasir dari dulu sama saja, ajeg. Upah sehari untuk dimakan sehari untuk menu makan paling sederhana, asal ada nasinya. Yang paling berpeluang punya banyak keuntungan adalah Boss-Boss pasir. Tidak usah merasakan dinginnya air sungai Serayu, mereka akan meraup keuntunngan sambil santai atau leha-leha di tepi sungai. Lebih-lebih kalau musim kering, banyak orang yang membutuhkan pasir untuk bangunan, pastilah pasir akan cepat laku dan banyak untung.
  Bus melewati desa Kaliori utara. Di situ ada gerbang Bumi Perkemahan Kendalisada. Menurut cerita perwayangan, Kendalisada adalah tempat pertapaan Hanoman, Si Kethek Putih, yang berjasa ikut membebaskan Dewi Sinta dari penculikan raksasa Rahwana dari Kerajaan Ngalengkadiraja. Di tempat inilah sering diadakan kepramukaan untuk pembinaan generasi muda. Yang menjadi pertanyaan saya, masihkah kegiatan pramuka efektif dengan kegiatan yang itu-itu saja menghadapi zaman kekinian dan globalisasi?  Tentu saja hal ini perlu dipikirkan oleh para penentu kebijakan di negara ini, terutama yang berhubungan dengan pembinaan generasi muda.
Perjalanan baru sampai di Kalibagor, setelah aku lihat jam di tangan kiriku bahwa perjalanan sudah memakan waktu tiga perempat jam lewat. Aku memastikan aku bakal terlambat sampai di Purwokerto. Aku berpikir, seandainya aku punya kendaraan sendiri Insya Alloh aku sudah sampai di tempat tujuan, sudah dipanggil untuk menghadap interview. “Nama? Tempat tanggal lahir? Alamat? Ijazah terakhir? Sudah berkeluarga? Punya pengalaman kerja? Anaknya berapa? Pendapat Saudara bagaimana untuk memajukan perusahaan ini? Jika diterima di perusahaan ini, apa yang akan Saudara lakukan?”. Itu kalau aku bayangkan interviewer yang tidak neka-neka. Bagaimana kalau interviewer yang saklek dan berusaha menjatuhkan aku secara psikologis? Bagaimana juga kalau interviewernya wanita cantik dan ia tertarik pada penampilanku, penampilan seorang laki-laki cukup gentelmen? Atau kebetulan interviewernya sudah aku kenal dan ia mantan kekasihku.  Ah, itu semua hanya sebatas seandainya.
Di Kalibagor aku lihat mangkraknya Pabrik Gula di sebelah timur jalan. Teringat waktu jaya-jayanya bersliweran truk pengangkut tebu masuk ke komplek pabrik gula itu. Juga, lori atau sepur pengangkut tebu berjajar antre masuk pabrik itu. Cerobong asap yang paling tinggi bangunannya di pabrik itu, mengeluarkan asap hitam ke udara. Bau aroma gula pasir yang sedang diolah menyebar ke seluruh jangkauan sekitar pabrik. Itu semua tempo dulu. Kebangkrutan pabrik itu aku pikir tentunya karena kebobrokan suatu sistem. Di mana produk gula impor mengalahkan produk gula dalam negri.   Jadi para petani tebu dan pabrik gula tidak pernah mengenyam keuntungan. Akhirnya bangkrut.
Di pasar Sokaraja penumpang ada yang naik dan turun. Aku baru dapat tempat duduk. Kebetulan bersamaan hari pasaran. Segala bakul kelihatan berjubel di tepi jalan. Orang tinggal pilih mau beli apa, semua tersedia. Kesemrawutan nampak jelas mendukung kemacetan jalan. Di situ mungkin perlunya penataan pasar Sokaraja yang sudah mengecil atau ciut bagi pengguna pasar yang semakin banyak. Artinya, pasar tidak mencukupi lagi menampung kegiatan orang-orang pasar.
  Mobil ngetem lagi. Sekelompok pengamen masuk bus. Mereka berpenampilan sopan, punya unggah-ungguh, baju bersih, berwajah familier,  tidak bau apek, tidak pecicilan. Mereka menyanyikan lagu ndangdut favorit, ”Keong Racun dan Cinta Satu Malam”, bagus sekali. Aku berbisik di telinga salah satu dari mereka. “Nyanyikan lagu Darah Mudanya Rhoma Irama”, bisikanku sambil menyodorkan uang lima ribuan. Sambil berjalan mobil itu, lagu Darah Muda mengalun mendayu-dayu di telinga para penumpang. Aku puas sekali dan cukup terhibur menghilangkan rasa stres yang sedikit mengganjal dalam pikiranku.
Lagu Darah Muda, lagu kenangan dan kesayanganku, mengantar aku mengantuk dipelukan jok mobil itu. Samar-samar pandanganku mengawali kantukku. Aku melayang dalam dialog interview di kantor tujuan.
“Nama Saudara?”.
“Sukarsa. Sukarsa Singa Manggala”.
“Panggilannya?”.
”Singa”.
“Wah, menakutkan, ya!”.
“Ya, tidak, Pak! Cuma nama”.
“Arti nama itu, tahu?”.
“Yah, kalau sekedar mengartikan, ya apa yang pernah aku terima dari orang tua. Su katanya berarti baik. Karsa berarti karep atau keinginan. Singa, ya Singa, Leo. Manggala artinya kebegjan, kebahagiaan atau kebeuntungan. Mungkin keinginan orang tua saya, saya punya keinginan dan kebegjan yang baik dan berwibawa seperti singa”.
“Saya tidak akan berbelit-belit. Saya langsung merekomendasikan kamu dalam kedudukan menjadi Wakil Kepala Perusahaan ini”.
“Ah, masak, segampang itu Bapak menilai dan menerima saya!” 
“Sesuai, kan, dengan apa yang Saudara harapkan?”.
Bus sudah mentog dan berhenti di terminal Purwokerto. Penumpang sudah turun semua. Kernet membangunkan aku.
“Mas, Mas, bangun! Sudah sampai terminal”.
Aku tersentak bangun, langsung berdiri. Penglihatanku masih samar-samar. Aku mengusap kedua mataku. Aku turun. Aku memegang ujung celana yang dikencingi kambing, sudah agak kering, tapi masih tetap berbau. Yang menjadi tidak kelihatan basah karena celana yang aku pakai berwarna gelap. Aku kemudian mencari tisu basah di kios terminal untuk menyegarkan mukaku. Aku berusaha mencari ojeg untuk bisa lebih cepat sampai tujuan.
Aku sampai di tempat tujuan. Aku langsung ke kantor yang dimaksud. Seseorang di kantor itu menerima aku.
“Mas, acara interview sudah bubar setengah jam yang lalu. Berkas lamaran pekerjaan Saudara dikembalikan. Ini, silakan ambil!”.

                                                                        Kebarongan, 3 November 2010


                                                                        Sugiharto.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar