ANTARA BUNTU – PURWOKERTO
Suatu
kepentingan mengharuskan aku untuk sampai di Purwokerto satu jam mendatang. Padahal,
aku sendiri tidak punya kendaraan untuk memburu waktu yang disediakan itu. Jalan satu-satunya naik kendaraan umum, mikro
bus unyil. Itupun tidak menjamin sampai di Purwokerto tepat waktu karena
bersamaan dengan jam sibuk. Kusadari hal itu tidak akan terlaksana tepat waktu
di Purwokerto.
Aku memulai perjalanan lewat
perhentian angkutan di Buntu. Aku menaiki angkutan yang sedang ngetem. Di dalam
angkutan semua sudah terisi tempat duduknya, kecuali di dekat pintu. Aku duduk
sambil melihat-lihat ke luar. Kernet sedang sibuk cari penumpang. Si Supir
sambil merokok sesekali jari telunjuk tangan kirinya ngupil asyik sekali. Kemudian
serombongan anak sekolah, merangsek masuk walaupun tidak bertempat duduk.
Angkutan mulai jalan setelah Kernet memberi isyarat kepada supir ada angkutan
serupa sedang datang di belakangnya.
Angkutan bergerak
meninggalkan kota Buntu menuju kota Purwokerto. Di tanjakan Cemuris desa
Pageralang ada orang membawa dua ekor kambing menyetop angkutan yang aku naiki,
biasanya akan dijual di pasar Banyumas. Mobil berhenti. Kernet menaikan dua
ekor kambing itu, rupanya jantan dan
betina. Kemudian angkutan melaju cukup kencang.
Memasuki tanjakan perkebunan
karet Krumput, mobil tidak bisa melaju kencang, harus merayap urut-urutan cukup
panjang karena ada dua truk tronton yang sedang menanjak pelan sekali. Aku
mulai merasakan pengap sekali berbau macam-macam dari bau ketiak Kernet, asap
rokok, parfum murahan, sampai bau kambing bandot, bengik. Di sepanjang tanjakan
perkebunan karet aku lihat sudah berderet orang mengais uang dari mobil-mobil
yang lewat, baik yang menanjak maupun yang turun, katanya untuk keselamatan, jadi
harus membuang uang di situ. Kalau dulu, kata orang-orang tua, yang menghadang
orang-orang pejalan kaki yang mau pasar atau baru pasar Banyumas adalah
sekawanan kera yang meminta makanan apa saja, terutama buah-buahan.
Tanjakan sudah terlewati, tinggal turun berkelok-kelok. Di desa
Karangrau dua orang turun, sekaligus juga ada dua orang ibu yang naik
masing-masing menggandeng anak usia sekolah dasar, rupanya mereka berdua murid
Sekolah Luar Biasa (SLB) di Banyumas, ada tulisan identitas di kedua baju anak itu. Aku mengamati kedua
anak itu. Dari kedua wajah anak itu sepertinya kembar, tapi masing-masing
disanding ibu yang berbeda. Aku jadi teringat, kata orang kalau anak-anak yang
punya keterbelakangan mental rata-rata memiliki wajah yang hampir sama, ada
yang mengistilahkan kembar dunia.
Di RSU Banyamas beberapa
penumpang turun, termasuk anak-anak sekolah yang sekolah di dekat RSU Banyumas.
Mobil aku rasakan tidak sesak lagi. Sementara itu mobil ngetem, dua anak siswa
SLB kelihatan sedang mengamati dua ekor kambing di depannya. Mereka berdialog
menggelikan sekali, kasihan.
“Kambing kok tidak pakai
celana, ya? Kata Ibu kalau tidak pakai
celana, kan malu”.
“Iya, yah! Tidak malu“.
“Kambingnya juga tidak
sekolah, kasihan, yah!”.
“Iya, kasihan. Kata ibu
kalau mau sekolah akan dibelikan kembang gula”.
Kedua ibu anak itu
senyum-senyum terpendam.
Mobil kembali jalan setelah
beberapa penumpang naik. Berjalan beberapa ratus meter aku lihat Pengadilan
Negeri Banyumas. Aku jadi teringat pernah masuk di gedung itu. Gara-garanya
sepele, aku naik sepeda motor tidak dilengkapi dengan kaca sepion, ditilang di
jalan. Aku ngeyel karena harus membayar denda empat puluh ribu rupiah. Waktu
itu aku tidak membawa uang sebanyak itu. Begitulah, aku harus menghadiri sidang
di gedung itu. Sidang itu sendiri serba singkat, hanya dipanggil namanya,
duduk, ditunjukkan pelanggarannya, lalu disebutkan uang denda pelanggarannya,
sudah cukup.
Di alun-alun Banyumas
berhenti, ada yang turun. Aku lihat di sebelah timur alun-alun ada penjara,
di sebelah barat ada Masjid. DI utara alun-alun, di situ Pemerintahan Kabupaten
Banyumas sebelum pindah ke Purwokerto. Kepindahannya katanya karena sering
banjir atau blabur. Entah ada misteri apa di alun–alun juga ada pohon beringin.
Yang jelas, menyatunya tempat Pemerintahan Kabupaten, Masjid, penjara,
alun-alun dan pohon beringin di
alun-alun ada maksud tertentu bagi pemerinthahan pada saat itu.
Tidak ada orang yang naik
dan turun hingga sampai pasar Banyumas. Bus berhenti. Lewat jendela, mataku
terpana pada buah-buahan yang dipajang di depan pintu pasar. Anggur merah yang
digantung mengusik ingatanku. Ketika istriku ngidam anakku yang pertama
bayanganku istriku akan meminta anggur merah yang aku tawarkan, padahal aku cuma basa basi karena aku tidak punya uang. Untungnya istriku cuma minta dibelikan gesek
atau ikan asin. Sedang asyik menghayalkan buah anggur, kaki kananku terhentak
secara refleks karena ada yang terasa aneh. Kakiku dikencingi kambing yang akan
diturunkan. Celana dan sepatuku basah. “Aduh, sial!”, pikirku. Tapi aku tidak
akan marah. Tidak ada yang harus aku marahi. Semua aku sadari tidak ada
kesengajaan. Aku hanya bisa merasakan dampak dunia hewan yang tidak punya
pikiran dan perasaan.
Mobil ngetem lagi di pasar
Banyumas.
Sementara aku sedang merasakan
dikencingi kambing, tiba-tiba ada ibu-ibu keluar dari pasar tergopoh-gopoh
menghampiri kernet yang sedang mencari penumpang.
“Net, Kernet! Uangku hilang!
Kecopetan!”.
“Ha, kecopetan?”.
“Iya, Net! Aku tidak pernah
kecopetan sebelumnya”.
Kernet diam saja.
“Net, Kernet! Aku kapok naik
mobil kamu. Tidak akan pernah naik mobil kamu lagi, ada copetnya”.
Kernet sebenarnya tahu
persis tiap kali ada pencopet naik, tapi
kernet tidak mau tahu risiko negatif bila tidak berbaikan dengan para copet.
Copet bisa bertindak nekat bila tidak diberi peluang beraksi.
Rupanya penumpang turun
semua di pasar Banyumas, tinggal aku sendirian. Setelah mobil ngetem cukup lama
dan tidak dapat penumpang, kernet menyuruh aku pindah ke angkutan lain jurusan
yang sama yang baru berhenti di depannya. Aku dioper, masuk ke angkutan lain,
bus tiga perempat, lebih besar dari yang aku naiki semula. Sudah penuh,
mengharuskan aku berdiri.
Bus berjalan melintas di
atas jembatan sungai Serayu. Air sungai Serayu tidak terlalu besar. Aku lihat di
sisi sebelah barat jembatan beberapa orang berjajar sedang memancing. Jauh di
sebelah barat sejauh mata memandang, aku lihat perahu-perahu kecil sedang
mengambang dipakai pencari atau penambang pasir. Kisah penambang pasir dari
dulu sama saja, ajeg. Upah sehari untuk dimakan sehari untuk menu makan paling
sederhana, asal ada nasinya. Yang paling berpeluang punya banyak keuntungan
adalah Boss-Boss pasir. Tidak usah merasakan dinginnya air sungai Serayu,
mereka akan meraup keuntunngan sambil santai atau leha-leha di tepi sungai.
Lebih-lebih kalau musim kering, banyak orang yang membutuhkan pasir untuk
bangunan, pastilah pasir akan cepat laku dan banyak untung.
Bus
melewati desa Kaliori utara. Di situ ada gerbang Bumi Perkemahan Kendalisada.
Menurut cerita perwayangan, Kendalisada adalah tempat pertapaan Hanoman, Si
Kethek Putih, yang berjasa ikut membebaskan Dewi Sinta dari penculikan raksasa
Rahwana dari Kerajaan Ngalengkadiraja. Di tempat inilah sering diadakan
kepramukaan untuk pembinaan generasi muda. Yang menjadi pertanyaan saya,
masihkah kegiatan pramuka efektif dengan kegiatan yang itu-itu saja menghadapi zaman
kekinian dan globalisasi? Tentu saja hal
ini perlu dipikirkan oleh para penentu kebijakan di negara ini, terutama yang
berhubungan dengan pembinaan generasi muda.
Perjalanan baru sampai di Kalibagor,
setelah aku lihat jam di tangan kiriku bahwa perjalanan sudah memakan waktu tiga
perempat jam lewat. Aku memastikan aku bakal terlambat sampai di Purwokerto.
Aku berpikir, seandainya aku punya kendaraan sendiri Insya Alloh aku sudah
sampai di tempat tujuan, sudah dipanggil untuk menghadap interview. “Nama? Tempat
tanggal lahir? Alamat? Ijazah terakhir? Sudah berkeluarga? Punya pengalaman
kerja? Anaknya berapa? Pendapat Saudara bagaimana untuk memajukan perusahaan
ini? Jika diterima di perusahaan ini, apa yang akan Saudara lakukan?”. Itu
kalau aku bayangkan interviewer yang tidak neka-neka. Bagaimana kalau
interviewer yang saklek dan berusaha menjatuhkan aku secara psikologis?
Bagaimana juga kalau interviewernya wanita cantik dan ia tertarik pada
penampilanku, penampilan seorang laki-laki cukup gentelmen? Atau kebetulan
interviewernya sudah aku kenal dan ia mantan kekasihku. Ah, itu semua hanya sebatas seandainya.
Di Kalibagor aku lihat
mangkraknya Pabrik Gula di sebelah timur jalan. Teringat waktu jaya-jayanya
bersliweran truk pengangkut tebu masuk ke komplek pabrik gula itu. Juga, lori
atau sepur pengangkut tebu berjajar antre masuk pabrik itu. Cerobong asap yang
paling tinggi bangunannya di pabrik itu, mengeluarkan asap hitam ke udara. Bau
aroma gula pasir yang sedang diolah menyebar ke seluruh jangkauan sekitar
pabrik. Itu semua tempo dulu. Kebangkrutan pabrik itu aku pikir tentunya karena
kebobrokan suatu sistem. Di mana produk gula impor mengalahkan produk gula dalam
negri. Jadi para petani tebu dan pabrik gula tidak
pernah mengenyam keuntungan. Akhirnya bangkrut.
Di pasar Sokaraja penumpang
ada yang naik dan turun. Aku baru dapat tempat duduk. Kebetulan bersamaan hari
pasaran. Segala bakul kelihatan berjubel di tepi jalan. Orang tinggal pilih mau
beli apa, semua tersedia. Kesemrawutan nampak jelas mendukung kemacetan jalan.
Di situ mungkin perlunya penataan pasar Sokaraja yang sudah mengecil atau ciut
bagi pengguna pasar yang semakin banyak. Artinya, pasar tidak mencukupi lagi
menampung kegiatan orang-orang pasar.
Mobil
ngetem lagi. Sekelompok pengamen masuk bus. Mereka berpenampilan sopan, punya
unggah-ungguh, baju bersih, berwajah familier, tidak bau apek, tidak pecicilan. Mereka
menyanyikan lagu ndangdut favorit, ”Keong Racun dan Cinta Satu Malam”, bagus
sekali. Aku berbisik di telinga salah satu dari mereka. “Nyanyikan lagu Darah
Mudanya Rhoma Irama”, bisikanku sambil menyodorkan uang lima ribuan. Sambil
berjalan mobil itu, lagu Darah Muda mengalun mendayu-dayu di telinga para
penumpang. Aku puas sekali dan cukup terhibur menghilangkan rasa stres yang
sedikit mengganjal dalam pikiranku.
Lagu Darah Muda, lagu
kenangan dan kesayanganku, mengantar aku mengantuk dipelukan jok mobil itu.
Samar-samar pandanganku mengawali kantukku. Aku melayang dalam dialog interview
di kantor tujuan.
“Nama Saudara?”.
“Sukarsa. Sukarsa Singa
Manggala”.
“Panggilannya?”.
”Singa”.
“Wah, menakutkan, ya!”.
“Ya, tidak, Pak! Cuma nama”.
“Arti nama itu, tahu?”.
“Yah, kalau sekedar
mengartikan, ya apa yang pernah aku terima dari orang tua. Su katanya berarti
baik. Karsa berarti karep atau keinginan. Singa, ya Singa, Leo. Manggala
artinya kebegjan, kebahagiaan atau kebeuntungan. Mungkin keinginan orang tua
saya, saya punya keinginan dan kebegjan yang baik dan berwibawa seperti singa”.
“Saya tidak akan
berbelit-belit. Saya langsung merekomendasikan kamu dalam kedudukan menjadi
Wakil Kepala Perusahaan ini”.
“Ah, masak, segampang itu
Bapak menilai dan menerima saya!”
“Sesuai, kan, dengan apa
yang Saudara harapkan?”.
Bus sudah mentog dan
berhenti di terminal Purwokerto. Penumpang sudah turun semua. Kernet
membangunkan aku.
“Mas, Mas, bangun! Sudah
sampai terminal”.
Aku tersentak bangun,
langsung berdiri. Penglihatanku masih samar-samar. Aku mengusap kedua mataku.
Aku turun. Aku memegang ujung celana yang dikencingi kambing, sudah agak
kering, tapi masih tetap berbau. Yang menjadi tidak kelihatan basah karena
celana yang aku pakai berwarna gelap. Aku kemudian mencari tisu basah di kios
terminal untuk menyegarkan mukaku. Aku berusaha mencari ojeg untuk bisa lebih
cepat sampai tujuan.
Aku sampai di tempat tujuan.
Aku langsung ke kantor yang dimaksud. Seseorang di kantor itu menerima aku.
“Mas, acara interview sudah
bubar setengah jam yang lalu. Berkas lamaran pekerjaan Saudara dikembalikan.
Ini, silakan ambil!”.
Kebarongan,
3 November 2010
Sugiharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar