TIKUS-TIKUS
Tikus-tikus dan Pak Bugel di rumah
bambu itu sudah menyatu. Dunia tikus dan dunia Pak Bugel di dalam rumah bambu
itu tak pernah terpisahkan. “Biarlah aku bersahabat dengan tikus-tikus di
rumahku. Aku merasa tidak terganggu dengan tikus-tikus yang bersliweran siang
dan malam. Mungkin itu menjijikkan, tapi bagiku merupakan kenikmatan dan
kebahagiaan tersendiri yang tak terperikan”, begitulah ujar Pak Bugel.
“Jangan coba-coba menyakiti
tikus-tikus itu. Apalagi membunuhnya”. Suatu ketika Pak Bugel memperingatkan
Bagio anak sematawayangnya yang sudah sarjana. “Tikus-tikus itu punya hak untuk
hidup. Tikus-tikus itu memang sudah digariskan menjadi musuh kita manusia. Apa
salahnya bersahabat dengan tikus-tikus itu. Toh juga kita dapat mengambil
manfaat dengan tikus-tikus itu, utamanya
niteni solah tingkah tikus-tikus itu yang bisa jadi ilmu”.
Bagio anak sematawayangnya yang
diajak bicara hanya bia “nun inggih” serta manggut-manggut, kemudian diam. Hati
Bagio sebenarnya meledak-ledak ingin brontak, tapi itu tak pernah terjadi,
pikiran dan hati Bagio sudah digebiri. Bagio hanya mampu sebatas menumpuk
butiran-butiran kejengkelan yang mungkin sewaktu-waktu bisa meledak. “Entah
sampai kapan aku bisa melepaskan kejengkelan ini”, ujar Bagio sambil menjauhi
ayahnya.
Bagio menerawang ingatannya, “Yang
aku tahu ayah hanya sebatas berbaikan dengan tikus-tikus itu. Sejak aku melek
lingkungan rumahku, rutinitas ayah menyisihkan makanan untuk tikus-tikus itu
tiap kali watu makan tiba. Bahkan menjadi keharusan uuntuk memberi makan
tikus-tikus itu. Ayah juga besumpah, selama ayah masih hidup akan selalu
memberi makan tikus-tikus itu”.
“Bagio, kamu anakku semata wayang
pewaris tunggal harta gono-gini milik ayah. Kamu jangan pernah kepengin rabi
sebelum ayah mati. Dan kamu juga jangan pernah bertanya mengapa ayah bersahabat
dengan tikus-tikus itu. Dan untuk itulah rumah bambu itu ayah pertahankan,
walaupun kita sudah punya gedong magrong-magrong”. Begitulah kata-kata Pak
Bugel yang selalu membelenggu laku Bagio.
Sebenarnya Bagio sudah berusaha
mencari tahu ada rahasia apa di balik tikus-tikus dan pernyataan-pernyataan
ayahnya. Yang ditangkap Bagio dari bisik-bisik tetangga ayahnya ngaji pesugihan
“Condol Ngandang”. Jadi pelihara tikus-tikus itu sebagai syarat. Dan juga,
ibunya meninggal dikatakan orang sebagai tumbal pesugihannya. Memang kata orang, ayahnya Bagio sugihnya
sugih dadakan, mbangun rumah gedong magrong-magrong. Sejak itu juga tak satupun
pembantu mau “mbabu” di rumah Pak Bugel, takut jadi tumbal atau banten. Tapi,
toh ada pembantu satu-satunya yang setia, itupun karena masih
familinya Pak Bugel.
Bagio tidak pernah membenarkan
bisik-bisik tetangga. Adalah cara yang bijak membela ayahnya “right or wrong is
may father”. “Tidak mungkin ayah ngaji pesugihan, ayah masih eling mengerjakan
sholat lima waktu. Cuma, elingnya sejauh mana dan sebatas apa, tak tahu”,
begitu sanggah Bagio dalam hati.
Memang hubungan ayah dan anak tidak
laras, jarang saling bicara. Pak Bugel sebagai ayah terlalu egois dan diktator
dalm menjalankan roda keluarga. Tidak heran jika anaknya, Bagio, yang sudah
sarjana juga sarjana yang tidak kreatif dan selalu merasa rendah diri
(inverority comolex) dalam melakoni kehidupan. Dan ini bagi Pak Bugel bukan kesalahan.
Berbagai cara ditempuh Bagio untuk mengusir
tikus-tikus itu. Pernah berkali-kali Bagio mendatangkan seekor kucing, tapi
sia-sia. Kucing kalau sudah masuk lingkungan rumahnya nyalinya hilang, tidak
ada lagi keberanian menangkap tikus-tikus itu. Kucing malah jadi mainan atau
bulan-bulanan oleh tikus-tikus itu. Bahkan kucing sepertinya menghilangkan rsa
permusuhannnya dengan tikus-tikus itu. Wibawa tikus merasuk pada kucing.
Jadilah kucing berjiwa tikus.
Suatu hari Bagio berusaha meracuni
tikus-tikus itu. Dicarinya racun yang paling mematikan. Setip sudut rumah bambu
itu diberi umpan beracun ditaruh di
tempat yang paling rahasia. “Mampus, kau tikus-tikus”, begitu Bagio bersumbar.
Malam pun berlalu. Betapa terkejut Bagio tikus-tikus itu tidak ada yang
kelihatan mati, sedangkan umpan beracun telah habis tiada bekas. Tikus-tikus
itu tambah sliweran seolah mengejek Bagio.
Malam
berikutnya, sambil tiduran, Bagio berpikir dengan cara apa lagi membasmi
tikus-tikus itu. “Jalan satu-satunya adalah dengan membakar rumah bambu yang
sebagai sarang tikus-tikus itu. Ah, tidak bisa. Tidak mungkin. Api bisa
merembet ke rumah induk, berbahaya. Aku tidak punya rumah lagi’. Kemudian
dengan tanpa berdoa Bagio tidur dan mengantarn masuk ke dunia mimpi, mimpi yang
menakutkan, terdampar di dunia tikus. Tidak ada dunia manusia kecuali
tikus-tikus. Tikus-tikus menjadi sebesar dirinya dan bisa bicara.
Tikus-tikus beramai-ramai menangkap
Bagio. Bagio diborgol dengan mulut tertutup duduk di tengah-tengah kerumunan
tikus-tikus. Bagio disidang tanpa ada pembela. Sidang dibuka, dipimpin oleh tikus
besar, tikus Wirog. “ Saudara-Saudaraku, sudah jelas Bagio melanggar pasal
undang-undang subversif teroris. Ingin memusnahkan kita semua, pemusnahan etnis
tikus”, begitu pemimpin sidang mulai mengajukan permasalahannya.
“Saudara Pimpinan! Sebelum sidang
dlanjutkan, boleh saya menyampaikan sesuatu yang hubungannya dengan sidang
ini?”, tikus busuk, Celurut, mengusulkan.
“Boleh, silakan!”
“Begini. Bagio mencoba melenyapkan
bangsa kita. Tapi, kita semua, kan, bisa terhindar dari makan racun itu. Kita
selamat berkat ayahnya Bagio menyingkirkan seluruh umpan racun itu. Kita
maafkan saja, Bagio. Tuhan saja Maha Pemaaf, mengapa kita tidak? Satu lagi,
ibunya Bagio meninggal gara-gara kita juga, kan? Gara-gara virus yang kita tebarkan lewat air
kencing kita yang berceceran sembarangan, ibunya Bagio terjangkit penyakit yang
mematikan. Bagio memang tidak tahu kalau kita telah berjasa menunjukkan harta
karun berupa emas di bawah rumah bambu itu, dengan cara membuat lubang dan
terangkat keluar tanah beberapa perhiasan emas”, tikus Celurut mencoba
menyampaikan pembelaan.
Semua tikus yang hadir koor satu
suara tidak setuju atas pembelaan Celurut. “Huuuu......... !”. Kemudian disusul
selingan. “Bunuh saja! Gantung saja! Cincang saja!”.
“Tenang! Tenang, Saudara!”, pemimpin
sidang menenangkan. “Kita akan mengadili perkara ini dengan seadil-adilnya.
Kita tidak akan terpengaruh apapun, intervensi pihak manapun. Dan kita tidak
gentar ancaman preman siapapun”.
“Sebentar, Pimpinan Sidang! Boleh
interupsi?”, lagi-lagi tikus Celurut menyela.
“Silakan! Ada apa lagi?”
“Saudara Pimpinan Sidang, kita dalam
memutuskan perkara harus lepas dari pengaruh emosi dan sentimen pribadi. Kita juga
harus berpegang pada azaz praduga tak bersalah. Bagio harus dilepas borgol dan
tutup mulutnya, kasihan dia. Biar bisa bergerak dan bicara. Ingat Pimpinan
Sidang! Selama ini kita telah disubsidi makanan tiap hari oleh ayahnya Bagio,
apa itu bukan merupakan pertimbangan? Kesalahan besar kalau kita mengabaikan
hal-hal seperti itu. Jangan ada penyesalan di kemudian hari”.
Peserta sidang semua diam terpengaruh
lontaran kata-kata tikus Celurut. Mereka tidak lagi mencemooh pendapat Celurut.
Kemudian pimpinan sidang segera mengambil alih situasi itu.
“Saudara-Saudara, sidang bisa
dilanjutkan?”
Peserta sidang tidak ada yang
menjawab. Mereka hanya grenengan bicara lirih. Pimpinan Sidang kemudian
menyampaikan pernyataan-pernyataan yang mengarah pada sidang untuk dilanjutkan.
“Saudara-Saudara, dari tadi yang
menyampaikan keberatan hanya satu pihak, Saudara Celurut. Dengan demikian
Saudara-Saudara yang lain berarti tidak keberatan atas pengadilan Bagio.
Berarti mayoritas menghendaki sidang untuk dilanjutkan. Begitu, kan?”.
“Sebentar, Saaudara-Saudara! Itu
namanya dominasi mayoritas. Kalian semua jangan mancla-mencle, pakai hati
nurani. Saya menyampaikan pernyataan, kalian diam, seolah setuju. Ada
pernyataan-pernyataan yang lain, juga kalian setuju. Bagaimana sikap kalian?”,
Celurut menghadang suara mereka.
“Sidang bisa dilaanjutkan? Sekali
lagi, sidang bisa dilanjutkan?”, Pimpinaan Sidang menawarkan dengan nada
kenceng.
“Bisa! Bisa dilanjutkan!”, serempak.
“OK, kita lanjutkan”.
Palu diketukkaan tiga kali oleh
Pimpinan Sidang. Sidang berjalan dengan lancar. Tidak ada lagi interupsi karena
Celurut lebih memilih diam, kata-katanya tidak berguna lagi. Sidang mengarah
pada kesepakatan memvonis Bagio, hukuman seberat-beratnya. Bagio diputuskan
dihukum deengan mulut tertutup dengan tangan terikat dan diletakkan di
tengah-tengah lapangan. Kemudian dicabik oleh setiap yang lewat.
Bagio diarak beramai-ramai menuju
lapangan di bawah terik matahai siang hari. Semua tikus, kecuali tikus Celurut,
menggiring Bagio. Sepanjang perjalanan pengawalan sangat ketat sekali. Bagio
diteriaki, “Teroris, bunuh saja! Teroris, gantung saja! Teroris, cincang
saja!”.
Sampai di lapangan sudah disediakan
tiang pengikat. Bagio berdiri diikatkan pada tiang itu dengan tangan diikat ke
belakang. Kaki dirapatkan pada pokok tiang bagian bawah. Mulut masih tertutup
plester, tidak dapat berbicara.
Pimpinan pelaksana hukuman mendekati
Bagio.
“Hai, Bagio!” Saya akan buka tutup
plester mulut kamu. Saya ingin tahu kata terakhir yang ingin kamu katakan.
Silakan, kamu boleh ngomong apa saja, bebas”.
Bagio membuka-buka mulutnya setelah
beberapa jam tertutup tidak digeraakkan. Kemudian Bagio seperti pintu bendungan
terbuka, mulutnya berbicara plas-plos lantang, menyengat, memagut, membara
membakar telinga. “Kamu tikus-tikus jelek, selalu membuat kerusakan, banyak
mendatangkan bencana di muka bumi. Kamu semua pantas dihukum mati. Silakan
kalian semua menghukum saya, saya tidak gentar. Saya akan membuat perhitungan
dengan meminta pertolongan dari langit. Insya Alloh, saya akan terbebas dari
hukuman kalian”.
Pukul dua belas siang tepat matahari
di atas ubun-ubun, pimpinan pelaksana hukuman segera menutup lagi mulut Bagio.
Para pembesar tikus, tidak ada perbedaan gender, tikus-tikus mengelilingi
Bagio. Karena gigi-gigi tikus dilapisi dengan baja, satu persatu gigi-gigi para
tikus dipertajam diasah dengan batu gerinda sirkel listrik, biar lebih leluasa
dan mudah melahap apa saja. Percikan api keluar dari mulut tikus yang giginya
dipertajam. Mereke siap mencabik-cabik Bagio.
Siang tidak lagi panas karena awan
dan mendung berkumpul di atas lapangan itu. Hujan gerimis mengawali upacara
sederhana. Pimpinan pelaksana hukuman melaporkan pesiapan yang tuntas pada
pemimpin tertinggi, tikus Wirog.
“Lapor! Pelaksanaan hukuman atas
Saudara Bagio siap dillaksanakan!”
“Laksanakan!”
“Siap laksanakan!”
“Kembali ke tempat!”
Pimpinan tertinggi, tikus Wirog,
menyela mengambil alih upacara.
“Saudara-Saudara, dalam pelaksanaan
nanti, dalam mencabik Bagio tidak secara bersama-sama, tapi satu per satu
supaya lebih lama dirasakan hukuman ini. Saya akan mengawali cabikan saya dan
akan disusul yang lain”.
Tikus Wirog sebagai pemimpin
tertinggi mengawali cabikan. Bagio tidak bergidik, tenang. Setiap cabikan tidak
dirasakan dan memang tidak terasa sakit. Cabikan tikus-tikus itu membekas di
tubuh Bagio, tetapi seketika itu juga bekas cabikan pulih seperti sedia kala.
Begitu seterusnya, hingga tikus-tikus yang lain tidak sabar mencabik Bagio
secara bergiliran, langsung mereka berebut mencabik. Makin banyak yang berebut
mencabik, tubuh Bagio semakin bertambah menguat dan mengeras bagai batu, hingga
gigi-gigi tikus-tikus itu semuanya rontok, tinggal gusi, pongah. Tidak hanya
itu, tikus-tikus yang mencabik Bagio tenaganya habis, lumpuh, hanya ekor dan
matanya yang dapat bergerak. Dengan diiringi hujan yang tidak begitu deras,
Bagio melihat tikus-tikus tidak ada lagi yang bergerak. Semua tergeletak
di sekeliling Bagio. Kesendirian di tengah-tengah tikus-tikus tak berdaya.
------ooo------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar