Minggu, 19 Februari 2012


TIKUS-TIKUS
Tikus-tikus dan Pak Bugel di rumah bambu itu sudah menyatu. Dunia tikus dan dunia Pak Bugel di dalam rumah bambu itu tak pernah terpisahkan. “Biarlah aku bersahabat dengan tikus-tikus di rumahku. Aku merasa tidak terganggu dengan tikus-tikus yang bersliweran siang dan malam. Mungkin itu menjijikkan, tapi bagiku merupakan kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri yang tak terperikan”, begitulah ujar Pak Bugel.
“Jangan coba-coba menyakiti tikus-tikus itu. Apalagi membunuhnya”. Suatu ketika Pak Bugel memperingatkan Bagio anak sematawayangnya yang sudah sarjana. “Tikus-tikus itu punya hak untuk hidup. Tikus-tikus itu memang sudah digariskan menjadi musuh kita manusia. Apa salahnya bersahabat dengan tikus-tikus itu. Toh juga kita dapat mengambil manfaat dengan tikus-tikus itu, utamanya  niteni solah tingkah tikus-tikus itu yang bisa jadi ilmu”.
Bagio anak sematawayangnya yang diajak bicara hanya bia “nun inggih” serta manggut-manggut, kemudian diam. Hati Bagio sebenarnya meledak-ledak ingin brontak, tapi itu tak pernah terjadi, pikiran dan hati Bagio sudah digebiri. Bagio hanya mampu sebatas menumpuk butiran-butiran kejengkelan yang mungkin sewaktu-waktu bisa meledak. “Entah sampai kapan aku bisa melepaskan kejengkelan ini”, ujar Bagio sambil menjauhi ayahnya.
Bagio menerawang ingatannya, “Yang aku tahu ayah hanya sebatas berbaikan dengan tikus-tikus itu. Sejak aku melek lingkungan rumahku, rutinitas ayah menyisihkan makanan untuk tikus-tikus itu tiap kali watu makan tiba. Bahkan menjadi keharusan uuntuk memberi makan tikus-tikus itu. Ayah juga besumpah, selama ayah masih hidup akan selalu memberi makan tikus-tikus itu”.
“Bagio, kamu anakku semata wayang pewaris tunggal harta gono-gini milik ayah. Kamu jangan pernah kepengin rabi sebelum ayah mati. Dan kamu juga jangan pernah bertanya mengapa ayah bersahabat dengan tikus-tikus itu. Dan untuk itulah rumah bambu itu ayah pertahankan, walaupun kita sudah punya gedong magrong-magrong”. Begitulah kata-kata Pak Bugel yang selalu membelenggu laku Bagio.
Sebenarnya Bagio sudah berusaha mencari tahu ada rahasia apa di balik tikus-tikus dan pernyataan-pernyataan ayahnya. Yang ditangkap Bagio dari bisik-bisik tetangga ayahnya ngaji pesugihan “Condol Ngandang”. Jadi pelihara tikus-tikus itu sebagai syarat. Dan juga, ibunya meninggal dikatakan orang sebagai tumbal pesugihannya.  Memang kata orang, ayahnya Bagio sugihnya sugih dadakan, mbangun rumah gedong magrong-magrong. Sejak itu juga tak satupun pembantu mau “mbabu” di rumah Pak Bugel, takut jadi tumbal atau banten. Tapi, toh ada  pembantu  satu-satunya yang setia, itupun karena masih familinya Pak Bugel.
Bagio tidak pernah membenarkan bisik-bisik tetangga. Adalah cara yang bijak membela ayahnya “right or wrong is may father”. “Tidak mungkin ayah ngaji pesugihan, ayah masih eling mengerjakan sholat lima waktu. Cuma, elingnya sejauh mana dan sebatas apa, tak tahu”, begitu sanggah Bagio dalam hati.
Memang hubungan ayah dan anak tidak laras, jarang saling bicara. Pak Bugel sebagai ayah terlalu egois dan diktator dalm menjalankan roda keluarga. Tidak heran jika anaknya, Bagio, yang sudah sarjana juga sarjana yang tidak kreatif dan selalu merasa rendah diri (inverority comolex) dalam melakoni kehidupan. Dan ini bagi Pak Bugel bukan kesalahan.
Berbagai cara ditempuh Bagio untuk mengusir tikus-tikus itu. Pernah berkali-kali Bagio mendatangkan seekor kucing, tapi sia-sia. Kucing kalau sudah masuk lingkungan rumahnya nyalinya hilang, tidak ada lagi keberanian menangkap tikus-tikus itu. Kucing malah jadi mainan atau bulan-bulanan oleh tikus-tikus itu. Bahkan kucing sepertinya menghilangkan rsa permusuhannnya dengan tikus-tikus itu. Wibawa tikus merasuk pada kucing. Jadilah kucing berjiwa tikus.
Suatu hari Bagio berusaha meracuni tikus-tikus itu. Dicarinya racun yang paling mematikan. Setip sudut rumah bambu itu diberi umpan beracun  ditaruh di tempat yang paling rahasia. “Mampus, kau tikus-tikus”, begitu Bagio bersumbar. Malam pun berlalu. Betapa terkejut Bagio tikus-tikus itu tidak ada yang kelihatan mati, sedangkan umpan beracun telah habis tiada bekas. Tikus-tikus itu tambah sliweran seolah mengejek Bagio.
Malam  berikutnya, sambil tiduran, Bagio berpikir dengan cara apa lagi membasmi tikus-tikus itu. “Jalan satu-satunya adalah dengan membakar rumah bambu yang sebagai sarang tikus-tikus itu. Ah, tidak bisa. Tidak mungkin. Api bisa merembet ke rumah induk, berbahaya. Aku tidak punya rumah lagi’. Kemudian dengan tanpa berdoa Bagio tidur dan mengantarn masuk ke dunia mimpi, mimpi yang menakutkan, terdampar di dunia tikus. Tidak ada dunia manusia kecuali tikus-tikus. Tikus-tikus menjadi sebesar dirinya dan bisa bicara.
Tikus-tikus beramai-ramai menangkap Bagio. Bagio diborgol dengan mulut tertutup duduk di tengah-tengah kerumunan tikus-tikus. Bagio disidang tanpa ada pembela. Sidang dibuka, dipimpin oleh tikus besar, tikus Wirog. “ Saudara-Saudaraku, sudah jelas Bagio melanggar pasal undang-undang subversif teroris. Ingin memusnahkan kita semua, pemusnahan etnis tikus”, begitu pemimpin sidang mulai mengajukan permasalahannya.
“Saudara Pimpinan! Sebelum sidang dlanjutkan, boleh saya menyampaikan sesuatu yang hubungannya dengan sidang ini?”, tikus busuk, Celurut, mengusulkan.
“Boleh, silakan!”
“Begini. Bagio mencoba melenyapkan bangsa kita. Tapi, kita semua, kan, bisa terhindar dari makan racun itu. Kita selamat berkat ayahnya Bagio menyingkirkan seluruh umpan racun itu. Kita maafkan saja, Bagio. Tuhan saja Maha Pemaaf, mengapa kita tidak? Satu lagi, ibunya Bagio meninggal gara-gara kita juga, kan?  Gara-gara virus yang kita tebarkan lewat air kencing kita yang berceceran sembarangan, ibunya Bagio terjangkit penyakit yang mematikan. Bagio memang tidak tahu kalau kita telah berjasa menunjukkan harta karun berupa emas di bawah rumah bambu itu, dengan cara membuat lubang dan terangkat keluar tanah beberapa perhiasan emas”, tikus Celurut mencoba menyampaikan pembelaan.
Semua tikus yang hadir koor satu suara tidak setuju atas pembelaan Celurut. “Huuuu......... !”. Kemudian disusul selingan. “Bunuh saja! Gantung saja! Cincang saja!”.
“Tenang! Tenang, Saudara!”, pemimpin sidang menenangkan. “Kita akan mengadili perkara ini dengan seadil-adilnya. Kita tidak akan terpengaruh apapun, intervensi pihak manapun. Dan kita tidak gentar ancaman preman siapapun”.
“Sebentar, Pimpinan Sidang! Boleh interupsi?”, lagi-lagi tikus Celurut menyela.
“Silakan! Ada apa lagi?”
“Saudara Pimpinan Sidang, kita dalam memutuskan perkara harus lepas dari  pengaruh emosi dan sentimen pribadi. Kita juga harus berpegang pada azaz praduga tak bersalah. Bagio harus dilepas borgol dan tutup mulutnya, kasihan dia. Biar bisa bergerak dan bicara. Ingat Pimpinan Sidang! Selama ini kita telah disubsidi makanan tiap hari oleh ayahnya Bagio, apa itu bukan merupakan pertimbangan? Kesalahan besar kalau kita mengabaikan hal-hal seperti itu. Jangan ada penyesalan di kemudian hari”.
Peserta sidang semua diam terpengaruh lontaran kata-kata tikus Celurut. Mereka tidak lagi mencemooh pendapat Celurut. Kemudian pimpinan sidang segera mengambil alih situasi itu.
“Saudara-Saudara, sidang bisa dilanjutkan?”
Peserta sidang tidak ada yang menjawab. Mereka hanya grenengan bicara lirih. Pimpinan Sidang kemudian menyampaikan pernyataan-pernyataan yang mengarah pada sidang untuk dilanjutkan.
“Saudara-Saudara, dari tadi yang menyampaikan keberatan hanya satu pihak, Saudara Celurut. Dengan demikian Saudara-Saudara yang lain berarti tidak keberatan atas pengadilan Bagio. Berarti mayoritas menghendaki sidang untuk dilanjutkan. Begitu, kan?”.
“Sebentar, Saaudara-Saudara! Itu namanya dominasi mayoritas. Kalian semua jangan mancla-mencle, pakai hati nurani. Saya menyampaikan pernyataan, kalian diam, seolah setuju. Ada pernyataan-pernyataan yang lain, juga kalian setuju. Bagaimana sikap kalian?”, Celurut menghadang suara mereka.
“Sidang bisa dilaanjutkan? Sekali lagi, sidang bisa dilanjutkan?”, Pimpinaan Sidang menawarkan dengan nada kenceng.
“Bisa! Bisa dilanjutkan!”, serempak.
“OK, kita lanjutkan”.
Palu diketukkaan tiga kali oleh Pimpinan Sidang. Sidang berjalan dengan lancar. Tidak ada lagi interupsi karena Celurut lebih memilih diam, kata-katanya tidak berguna lagi. Sidang mengarah pada kesepakatan memvonis Bagio, hukuman seberat-beratnya. Bagio diputuskan dihukum deengan mulut tertutup dengan tangan terikat dan diletakkan di tengah-tengah lapangan. Kemudian dicabik oleh setiap yang lewat.
Bagio diarak beramai-ramai menuju lapangan di bawah terik matahai siang hari. Semua tikus, kecuali tikus Celurut, menggiring Bagio. Sepanjang perjalanan pengawalan sangat ketat sekali. Bagio diteriaki, “Teroris, bunuh saja! Teroris, gantung saja! Teroris, cincang saja!”.
Sampai di lapangan sudah disediakan tiang pengikat. Bagio berdiri diikatkan pada tiang itu dengan tangan diikat ke belakang. Kaki dirapatkan pada pokok tiang bagian bawah. Mulut masih tertutup plester, tidak dapat berbicara.
Pimpinan pelaksana hukuman mendekati Bagio.
“Hai, Bagio!” Saya akan buka tutup plester mulut kamu. Saya ingin tahu kata terakhir yang ingin kamu katakan. Silakan, kamu boleh ngomong apa saja, bebas”.
Bagio membuka-buka mulutnya setelah beberapa jam tertutup tidak digeraakkan. Kemudian Bagio seperti pintu bendungan terbuka, mulutnya berbicara plas-plos lantang, menyengat, memagut, membara membakar telinga. “Kamu tikus-tikus jelek, selalu membuat kerusakan, banyak mendatangkan bencana di muka bumi. Kamu semua pantas dihukum mati. Silakan kalian semua menghukum saya, saya tidak gentar. Saya akan membuat perhitungan dengan meminta pertolongan dari langit. Insya Alloh, saya akan terbebas dari hukuman kalian”.
Pukul dua belas siang tepat matahari di atas ubun-ubun, pimpinan pelaksana hukuman segera menutup lagi mulut Bagio. Para pembesar tikus, tidak ada perbedaan gender, tikus-tikus mengelilingi Bagio. Karena gigi-gigi tikus dilapisi dengan baja, satu persatu gigi-gigi para tikus dipertajam diasah dengan batu gerinda sirkel listrik, biar lebih leluasa dan mudah melahap apa saja. Percikan api keluar dari mulut tikus yang giginya dipertajam. Mereke siap mencabik-cabik Bagio.
Siang tidak lagi panas karena awan dan mendung berkumpul di atas lapangan itu. Hujan gerimis mengawali upacara sederhana. Pimpinan pelaksana hukuman melaporkan pesiapan yang tuntas pada pemimpin tertinggi, tikus Wirog.
“Lapor! Pelaksanaan hukuman atas Saudara Bagio siap dillaksanakan!”
“Laksanakan!”
“Siap laksanakan!”
“Kembali ke tempat!”
Pimpinan tertinggi, tikus Wirog, menyela mengambil alih upacara.
“Saudara-Saudara, dalam pelaksanaan nanti, dalam mencabik Bagio tidak secara bersama-sama, tapi satu per satu supaya lebih lama dirasakan hukuman ini. Saya akan mengawali cabikan saya dan akan disusul yang lain”.
Tikus Wirog sebagai pemimpin tertinggi mengawali cabikan. Bagio tidak bergidik, tenang. Setiap cabikan tidak dirasakan dan memang tidak terasa sakit. Cabikan tikus-tikus itu membekas di tubuh Bagio, tetapi seketika itu juga bekas cabikan pulih seperti sedia kala. Begitu seterusnya, hingga tikus-tikus yang lain tidak sabar mencabik Bagio secara bergiliran, langsung mereka berebut mencabik. Makin banyak yang berebut mencabik, tubuh Bagio semakin bertambah menguat dan mengeras bagai batu, hingga gigi-gigi tikus-tikus itu semuanya rontok, tinggal gusi, pongah. Tidak hanya itu, tikus-tikus yang mencabik Bagio tenaganya habis, lumpuh, hanya ekor dan matanya yang dapat bergerak. Dengan diiringi hujan yang tidak begitu deras, Bagio melihat tikus-tikus tidak ada lagi yang bergerak. Semua                                            tergeletak di sekeliling Bagio. Kesendirian di tengah-tengah tikus-tikus tak berdaya.
  

------ooo------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar