Minggu, 19 Februari 2012

TUSUK SATE TERAKHIR
Oleh: Sugiharto
Sudah hafal benar bakul sate yang satenya enak di daerahnya. Tidak hanya sate, semua bakul makanan yang dipahami makanannya enak juga dihapal. Itulah Kang Gamber juragan kayu yang suka makan sate dan tusuknya selalu dibawa pulang untuk dikoleksi. Sate apa saja, Kang? Segala sate yang orang menjualnya, pernah dicicipi.
Kang Gamber orangnya buta huruf, tapi walau pun buta huruf ia sukses menjadi juragan kayu. Dalam hitung menghitung ia tidak mengenal kalkulator, secara cepat ia akan menemukan hasil perhitungan nilai penjualan kayu-kayunya, secepat itu pula ia akan menjawab bila ditanya berapa jumlah tusuk sate yang telah dikoleksi sejak ia masih muda sampai sekarang.
Selain buta huruf, Kang Gamber tidak mengenal bagaimana menjadi seorang hamba yang akan mempertanggungjawabkan segala hal di alam kekekalan nanti. Dalam pikiran Kang Gamber kesehariannya yang ada hanya menumpuk harta dan mengoleksi tusuk sate. Hingga Kang Gamber pernah bersemboyan, “Sukses menumpuk harta dan sukses mengoleksi tusuk sate”.  Itu semboyannya yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.  
Disediakan ruang tersendiri oleh Kang Gamber untuk mengoleksi tusuk –tusuk satenya. Istrinya yang tidak buta huruf disuruh menulis setiap macam tusuk sate yang telah dibelinya. Dibuatlah rak-rak tusuk sate layaknya rak-rak  buku di perpustakaan. Kelompok tusuk sate kambing mendominasi dari paling banyak jumlah tusuknya, menyusul tusuk sate ayam, sate kelinci, sate sapi, sate kerang atau sate siput, dan seterusnya. Dan tusuk sate tertata rapih di tempatnya masing-masing.
Entah dengan ilmu apa Kang Gamber mampu menyatukan kehendak dengan istrinya. Tidak pernah ada kata dan tingkah laku menolak dari istrinya untuk mengurusi tusuk-tusuk sate itu. Yang ada tumbuhnya kesetiaan istrinya. Dan semua ini beralasan sebab sewaktu Kang Gamber melamar istrinya berucap, “Kalau kamu mau dengan saya, kamu harus mau merawat tusuk-tusuk sate yang saya koleksi’.
Seiring pesatnya perkembangan Kang Gamber dalam usaha perkayuan, istrinya melahirkan anak hampir sekali setiap tahun. Dalam usia perkawinan dua belas tahun, Kang Gamber sudah punya anak sembilan. Dari kesibukan mengasuh sembilan anak itu, istrinya tidak lagi punya banyak waktu mengurus dirinya dan merawat koleksi tusuk-tusuk sate Kang Gamber. Kang Gamber sendiri tidak mau tahu kerepotan istrinya mengurus anak-anaknya. Kemudian dari keadaan seperti ini Kang Gamber marah-marah kepada istrinya., “Sudah bosan mengurus tusuk sate?”. Istri Kang Gamber tidak menjawab. Sebagai pelampiasan istrinya meneteskan air mata sebagai ungkapan termudah seorang istri yang jengkel pada suaminya. Dan istrinya sudah paham betul kata-kata yang bakal dilontarkan suaminya yang ujung-ujungnya Kang Gamber akan mencari istri lagi yang bisa dan mau mengurus tusuk-tusuk satenya.
Kali ini Kang Gamber tidak main-main dengan tidak terurusnya tusuk-tusuk satenya.  Ia memutuskan untuk mencari lagi istri yang benar-benar mau merawat tusuk-tusuk sate itu. Tentu, Kang Gamber memberi syarat kepada istri keduanya dengan berucap seperti yang diucapkan kepada istri yang pertama, “Kalau kamu mau dengan saya, kamu harus mau merawat tusuk-tusuk sate yang saya koleksi”. Begitulah, Kang Gamber mendapatkan istri yang kedua, setelah menceraikan istri yang pertama. Istri yang kedua pun nasibnya sama dengan istri pertama, diceraikan dengan persoalan yang sama, tidak bisa lagi merawat tusuk-tusuk sate, karena sibuk mengurus anak karena hampir tiap tahun melahirkan. Demikian seterusnya Kang Gamber kawin cerai dengan persoalan yang sama hingga mendapatkan istri yang ke lima.
Sebenarnya pada waktu punya istri yang ke empat Kang Gamber sedang jaya-jayanya. Tusuk-tusuk sate dibuatkan rumah tersendiri sebagaimana musium. Karena koleksi tusuk-tusuk satenya itu,  Kang Gamber dapat penghargaan dari pencatat koleksi tusuk sate terbanyak nasional, atau bahkan sejagat bila didaftar sebagai rekor sejagat. Kang Gamber diberi piala dan surat  penghargaan, di samping ada cek berisi uang yang tak ternilai harganya. Dasar Kang Gamber buta huruf, cek itu tidak pernah diuangkan dan entah tercecer ke mana, barang kali malah dibuang, tentunya.
Istri yang ke lima Kang Gamber tipe istri konsumtif, boros, sukanya hura-hura, yang tidak mau diatur, maunya malah mengatur Kang  Gamber. Kini segala kebijakan yang memegang adalah istrinya, di samping umur Kang Gamber sudah semakin tua, gertakannya sudah tidak berwibawa. Kang Gamber pribadinya ada di ketiak istrinya. Kejayaan Kang Gamber sedang menuju anti klimaks.
Belum genap tiga tahun punya istri yang ke lima, harta Kang Gamber sudah melorod tajam asetnya, tinggal separoh. Ditambah lagi Kang Gamber kini terkena penyakit  gula atau kencing manis. Kesehatan Kang Gamber digerogoti penyakitnya sejalan dengan digerogoti hartanya untuk mmengusahakan kesehatannya. Begitu juga, usaha perkayuannya bangkrut-krut tidak bisa ditolong.  Namun demikian Kang Gamber masih punya sisa kebahagiaan, istri yang ke lima ini, yang tidak punya anak, masih setia menemaninya, walaupun Kang Gamber sudah tidak sanggup lagi memberi nafkah batinnya. Tapi, itulah istri Kang Gamber,  dengan membungkus kesetiaan, ia mencari kepuasan dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan Kang Gamber.

Suatu ketika Kang Gamber ngobrak-abrik koleksi tusuk-tusuk sate yang tidak atau kurang terawat lagi. Tidak sengaja telapak kaki kanan Kang Gamber tertusuk tusuk sate yang tercecer. Pada hal sudah diwanti-wanti oleh dokter jangan sampai badannya terkena luka, sulit sembuhnya. Itulah awal kaki kanan Kang Gamber tergerogoti luka yang menjalar mematikan syaraf-syaraf kakinya. Kalau ingin sembuh, kaki Kang Gamber harus diamputasi.
Tidak terlalu lama kaki kanan Kang Gamber diamputasi dengan biaya tidak sedikit. Dari biaya amputasi itu kekayaan Kang Gamber yang tersisa tinggal gudang tusuk-tusuk sate dan gubug kecil di atas sebidang tanah yang sempit. Mengenaskan sekali kehidupan Kang Gamber, berbalik seratus depalan puluh derajat, artinya habis semua hartanya kembali seperti semula, nol atau bahkan minus.
Merasakan kemlaratan dengan masih ditemani kesetiaan semu istri terakhinya, Kang Gamber tidak memiliki pemasukan apapun untuk menopang hidupnya. Jalan satu-satunya untuk menopang hidup kesehariannya,  istri Kang Gamber menjual sisa-sisa kayu yang ada di gudang tusuk sate. Itu pun tidak begitu membantu, masih sering tidak cukup karena uangnya sering digunakan istrinya untuk keperluan yang tidak semestinya. Di samping itu,  untuk keperluan memasak di dapur,  istri Kang Gamber tidak bisa menggunakan kompor gas Elpiji dan ada rasa takut dengan berita-berita ledakan tabung Elpiji, dan memang juga tidak sanggup membeli gas Elpiji, terpaksa menggunakan kayu-kayu papan penutup pagar  gudang tusuk sate sebagai bahan bakarnya. Tidak bisa dihindari, gudang tusuk sate kini ngamplang-amplang hanya ditutupi atap saja, pagarnya sudah tidak ada.
Kang Gamber kini betul-betul sedang menuai apa yang telah ditanam; keangkuhan dan kesombongannya. Kesendirian ditemani istri yang sering memarahi dan membentaknya, terasing dengan sanak saudara, menyelimuti kesehariannya. Kang Gamber tidak pernah memaknai kehidupan dari apa yang telah ditanamnya. Sisa-sisa hidupnya seolah hanya menunggu ajal. Pada hal, ajal bagi seseorang tidak dapat ditunggu atau dipastikan waktunya, hanya dipersiapkan bagi orang yang tahu.   
Dengan berjalan memakai dua tongkat penyangga Kang Gamber mendekati gudang  tusuk sate yang tak berpagar lagi. Dilihatnya rak-rak tempat tusuk sate. Tusuk-tusuk sate sudah tidak ada. Kemudian Kang Gamber lebih mendekat dan masuk ke gudang, hanya tersisa sebagian rak-rak tusuk sate yang mangkrak. Ada beberapa ikat tusuk sate yang tersisa, itupun karena tertutup kardus. Diambilnya tusuk-tusuk sate itu kemudian di bawa masuk ke kamarnya dan diletakkan di samping dipan tempat tidurnya. Dalam pikirannya, “Aku ingin mengenang kejayaan yang pernah aku raih”.
Kang Gamber tidak berani bertanya kepada istrinya, dikemanakan tusuk-tusuk sate sebanyak itu. Dan Kang Gamber tidak tahu tusuk-tusuk sate sebanyak itu sebagian sudah berubah menjadi bahan-bahan makanan yang telah menyambung hidupnya, artinya dijual sebagai kayu bakar. Sebagian tusuk-tusuk sate juga telah digunakan oleh istrinya sebagai keperluan yang sama. Pada gilirannya sisa tusuk-tusuk sate Kang Gamber yang diletakkan di samping dipan  tidurnya akan diambil istrinya untuk memulai perapian atau daden geni di dapur.

                                                                        Kebarongan, 26 Oktober 2010


                                                                        Sugiharto.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar