TUSUK SATE TERAKHIR
Oleh: Sugiharto
Sudah
hafal benar bakul sate yang satenya enak di daerahnya. Tidak hanya sate, semua
bakul makanan yang dipahami makanannya enak juga dihapal. Itulah Kang Gamber
juragan kayu yang suka makan sate dan tusuknya selalu dibawa pulang untuk dikoleksi.
Sate apa saja, Kang? Segala sate yang orang menjualnya, pernah dicicipi.
Kang
Gamber orangnya buta huruf, tapi walau pun buta huruf ia sukses menjadi juragan
kayu. Dalam hitung menghitung ia tidak mengenal kalkulator, secara cepat ia
akan menemukan hasil perhitungan nilai penjualan kayu-kayunya, secepat itu pula
ia akan menjawab bila ditanya berapa jumlah tusuk sate yang telah dikoleksi
sejak ia masih muda sampai sekarang.
Selain
buta huruf, Kang Gamber tidak mengenal bagaimana menjadi seorang hamba yang
akan mempertanggungjawabkan segala hal di alam kekekalan nanti. Dalam pikiran
Kang Gamber kesehariannya yang ada hanya menumpuk harta dan mengoleksi tusuk
sate. Hingga Kang Gamber pernah bersemboyan, “Sukses menumpuk harta dan sukses
mengoleksi tusuk sate”. Itu semboyannya
yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Disediakan
ruang tersendiri oleh Kang Gamber untuk mengoleksi tusuk –tusuk satenya. Istrinya
yang tidak buta huruf disuruh menulis setiap macam tusuk sate yang telah
dibelinya. Dibuatlah rak-rak tusuk sate layaknya rak-rak buku di perpustakaan. Kelompok tusuk sate
kambing mendominasi dari paling banyak jumlah tusuknya, menyusul tusuk sate
ayam, sate kelinci, sate sapi, sate kerang atau sate siput, dan seterusnya. Dan
tusuk sate tertata rapih di tempatnya masing-masing.
Entah
dengan ilmu apa Kang Gamber mampu menyatukan kehendak dengan istrinya. Tidak
pernah ada kata dan tingkah laku menolak dari istrinya untuk mengurusi
tusuk-tusuk sate itu. Yang ada tumbuhnya kesetiaan istrinya. Dan semua ini beralasan
sebab sewaktu Kang Gamber melamar istrinya berucap, “Kalau kamu mau dengan saya,
kamu harus mau merawat tusuk-tusuk sate yang saya koleksi’.
Seiring
pesatnya perkembangan Kang Gamber dalam usaha perkayuan, istrinya melahirkan anak
hampir sekali setiap tahun. Dalam usia perkawinan dua belas tahun, Kang Gamber
sudah punya anak sembilan. Dari kesibukan mengasuh sembilan anak itu, istrinya
tidak lagi punya banyak waktu mengurus dirinya dan merawat koleksi tusuk-tusuk
sate Kang Gamber. Kang Gamber sendiri tidak mau tahu kerepotan istrinya
mengurus anak-anaknya. Kemudian dari keadaan seperti ini Kang Gamber
marah-marah kepada istrinya., “Sudah bosan mengurus tusuk sate?”. Istri Kang
Gamber tidak menjawab. Sebagai pelampiasan istrinya meneteskan air mata sebagai
ungkapan termudah seorang istri yang jengkel pada suaminya. Dan istrinya sudah
paham betul kata-kata yang bakal dilontarkan suaminya yang ujung-ujungnya Kang
Gamber akan mencari istri lagi yang bisa dan mau mengurus tusuk-tusuk satenya.
Kali
ini Kang Gamber tidak main-main dengan tidak terurusnya tusuk-tusuk
satenya. Ia memutuskan untuk mencari
lagi istri yang benar-benar mau merawat tusuk-tusuk sate itu. Tentu, Kang
Gamber memberi syarat kepada istri keduanya dengan berucap seperti yang
diucapkan kepada istri yang pertama, “Kalau kamu mau dengan saya, kamu harus mau
merawat tusuk-tusuk sate yang saya koleksi”. Begitulah, Kang Gamber mendapatkan
istri yang kedua, setelah menceraikan istri yang pertama. Istri yang kedua pun
nasibnya sama dengan istri pertama, diceraikan dengan persoalan yang sama,
tidak bisa lagi merawat tusuk-tusuk sate, karena sibuk mengurus anak karena hampir
tiap tahun melahirkan. Demikian seterusnya Kang Gamber kawin cerai dengan
persoalan yang sama hingga mendapatkan istri yang ke lima.
Sebenarnya
pada waktu punya istri yang ke empat Kang Gamber sedang jaya-jayanya.
Tusuk-tusuk sate dibuatkan rumah tersendiri sebagaimana musium. Karena koleksi
tusuk-tusuk satenya itu, Kang Gamber
dapat penghargaan dari pencatat koleksi tusuk sate terbanyak nasional, atau bahkan
sejagat bila didaftar sebagai rekor sejagat. Kang Gamber diberi piala dan
surat penghargaan, di samping ada cek
berisi uang yang tak ternilai harganya. Dasar Kang Gamber buta huruf, cek itu
tidak pernah diuangkan dan entah tercecer ke mana, barang kali malah dibuang,
tentunya.
Istri
yang ke lima Kang Gamber tipe istri konsumtif, boros, sukanya hura-hura, yang
tidak mau diatur, maunya malah mengatur Kang
Gamber. Kini segala kebijakan yang memegang adalah istrinya, di samping
umur Kang Gamber sudah semakin tua, gertakannya sudah tidak berwibawa. Kang
Gamber pribadinya ada di ketiak istrinya. Kejayaan Kang Gamber sedang menuju
anti klimaks.
Belum
genap tiga tahun punya istri yang ke lima, harta Kang Gamber sudah melorod
tajam asetnya, tinggal separoh. Ditambah lagi Kang Gamber kini terkena penyakit
gula atau kencing manis. Kesehatan Kang
Gamber digerogoti penyakitnya sejalan dengan digerogoti hartanya untuk
mmengusahakan kesehatannya. Begitu juga, usaha perkayuannya bangkrut-krut tidak
bisa ditolong. Namun demikian Kang
Gamber masih punya sisa kebahagiaan, istri yang ke lima ini, yang tidak punya
anak, masih setia menemaninya, walaupun Kang Gamber sudah tidak sanggup lagi
memberi nafkah batinnya. Tapi, itulah istri Kang Gamber, dengan membungkus kesetiaan, ia mencari
kepuasan dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan Kang Gamber.
Suatu ketika Kang Gamber ngobrak-abrik koleksi
tusuk-tusuk sate yang tidak atau kurang terawat lagi. Tidak sengaja telapak kaki
kanan Kang Gamber tertusuk tusuk sate yang tercecer. Pada hal sudah
diwanti-wanti oleh dokter jangan sampai badannya terkena luka, sulit sembuhnya.
Itulah awal kaki kanan Kang Gamber tergerogoti luka yang menjalar mematikan
syaraf-syaraf kakinya. Kalau ingin sembuh, kaki Kang Gamber harus diamputasi.
Tidak terlalu lama kaki kanan Kang Gamber diamputasi
dengan biaya tidak sedikit. Dari biaya amputasi itu kekayaan Kang Gamber yang
tersisa tinggal gudang tusuk-tusuk sate dan gubug kecil di atas sebidang tanah
yang sempit. Mengenaskan sekali kehidupan Kang Gamber, berbalik seratus depalan
puluh derajat, artinya habis semua hartanya kembali seperti semula, nol atau
bahkan minus.
Merasakan kemlaratan dengan masih ditemani kesetiaan
semu istri terakhinya, Kang Gamber tidak memiliki pemasukan apapun untuk
menopang hidupnya. Jalan satu-satunya untuk menopang hidup kesehariannya, istri Kang Gamber menjual sisa-sisa kayu yang
ada di gudang tusuk sate. Itu pun tidak begitu membantu, masih sering tidak cukup
karena uangnya sering digunakan istrinya untuk keperluan yang tidak semestinya.
Di samping itu, untuk keperluan memasak
di dapur, istri Kang Gamber tidak bisa
menggunakan kompor gas Elpiji dan ada rasa takut dengan berita-berita ledakan tabung
Elpiji, dan memang juga tidak sanggup membeli gas Elpiji, terpaksa menggunakan
kayu-kayu papan penutup pagar gudang
tusuk sate sebagai bahan bakarnya. Tidak bisa dihindari, gudang tusuk sate kini
ngamplang-amplang hanya ditutupi atap saja, pagarnya sudah tidak ada.
Kang Gamber kini betul-betul sedang menuai apa yang
telah ditanam; keangkuhan dan kesombongannya. Kesendirian ditemani istri yang
sering memarahi dan membentaknya, terasing dengan sanak saudara, menyelimuti
kesehariannya. Kang Gamber tidak pernah memaknai kehidupan dari apa yang telah
ditanamnya. Sisa-sisa hidupnya seolah hanya menunggu ajal. Pada hal, ajal bagi
seseorang tidak dapat ditunggu atau dipastikan waktunya, hanya dipersiapkan
bagi orang yang tahu.
Dengan berjalan memakai dua tongkat penyangga Kang
Gamber mendekati gudang tusuk sate yang
tak berpagar lagi. Dilihatnya rak-rak tempat tusuk sate. Tusuk-tusuk sate sudah
tidak ada. Kemudian Kang Gamber lebih mendekat dan masuk ke gudang, hanya
tersisa sebagian rak-rak tusuk sate yang mangkrak. Ada beberapa ikat tusuk sate
yang tersisa, itupun karena tertutup kardus. Diambilnya tusuk-tusuk sate itu
kemudian di bawa masuk ke kamarnya dan diletakkan di samping dipan tempat
tidurnya. Dalam pikirannya, “Aku ingin mengenang kejayaan yang pernah aku raih”.
Kang Gamber tidak berani bertanya kepada istrinya,
dikemanakan tusuk-tusuk sate sebanyak itu. Dan Kang Gamber tidak tahu
tusuk-tusuk sate sebanyak itu sebagian sudah berubah menjadi bahan-bahan
makanan yang telah menyambung hidupnya, artinya dijual sebagai kayu bakar.
Sebagian tusuk-tusuk sate juga telah digunakan oleh istrinya sebagai keperluan
yang sama. Pada gilirannya sisa tusuk-tusuk sate Kang Gamber yang diletakkan di
samping dipan tidurnya akan diambil
istrinya untuk memulai perapian atau daden geni di dapur.
Kebarongan,
26 Oktober 2010
Sugiharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar