Senin, 20 Februari 2012


KADAL IJO

            Sudah berkali-kali aku mencoba ingin menangkap kadal ijo di lingkungan rumahku. Secepat kilat kadal ijo itu melesat meloncat, berganti warna saat aku mengerdipkan mata, lalu menghilang. Saat aku lengah kadal ijo itu muncul lagi. Begitu seterusnya, menggoda dan mempermainkan mata.
            Orang lain mengatakan bunglon, bengkarung, tapi aku lebih suka ikut lingkunganku menamakan kadal ijo. Sudah pernah aku mendesak mereka untuk mengatakan itu bunglon, mereka seolah mencibirku menolak nama itu. Mereka bersikukuh tidak menerima nama yang lain selain kadal ijo.
            Seperti aku, orang biasanya jadi berpikir, merenung dan bertindak karena adanya rangsangan dari luar dirinya. Adanya kadal ijo di lingkungan rumahku menambah daftar pikiran, renungan dan tindakan yang baru pada diriku. Tadinya aku ingin membuang jauh-jauh masalah kadal ijo itu, tapi rupanya tetangga di lingkunganku juga ikut terusik mendesak aku dan seluruh warga supaya secepatnya menangkap  kadal ijo itu karena sebagian generasi dari warga seumur-umur belum pernah melihat kadal ijo. Tersebarlah wara-wara kepada seluruh warga untuk menangkap kadal ijo itu. Kadal ijo itu semakin sempit ruang geraknya.
            Tiap warga yang terusik dan tertarik dengan hadiah yang tersedia untuk menangkap kadal ijo itu, memasang jerat di masing-masing tempatnya. Jerat-jerat yang dipasang beraneka bentuk dari yang tradisional memakai peralatan sederhana seperti dari bambu sampai memasang peralatan yang memakai elektronik, tapi belum ada yang memakai kamera monitor yang bisa dikendalikan dari jarak jauh dan secara otomatis  dapat menangkap kadal ijo itu. Tetapi selama itu, tidak ada orang yang melaporkan tertangkapnya kadal ijo itu. Yang tertangkap jenis kadal-kadal yang lain selain kadal ijo. Saking sulitnya menangkap kadal ijo itu, orang lalu melupakan seiring lamanya waktu menunggu dan rusaknya peralatan jerat yang dipasang di masing-masing tempat. Kadal ijo itu tidak lagi menjadi incaran warga.
            Dalam situasi terlupakan, kadal ijo itu muncul lagi. Kali ini kemunculan kadal ijo itu bertambah banyak kelipatannya menjadi bermunculan di tiap-tiap rumah tangga. Tidak ada keluarga yang terlewat dari menyebarnya kadal ijo itu. Tiap keluarga jadi sibuk terperangah memikirkan kadal ijo itu. Aku berembuk dengan keluargaku mengapa kadal ijo itu bisa sampai dan masuk di lingkungan keluargaku. Mungkin keluarga-keluarga lain tidak berbeda dengan keluargaku menyoal kadal ijo itu. Tiap keluarga tidak ada lagi yang merasa asing dengan kadal ijo. Hanya saja tiap keluarga merasa kesulitan unutk menangkapnya. “Bisa dikenal, bisa dilihat, sulit dijerat, sulit ditangkap, muncul begitu cepat dan menghilang begitu cepat”.
            Kemunculan kadal ijo pada tiap-tiap keluarga mendatangkan masalah baru merebaknya penyakit borok pada tiap-tiap keluarga. Tadinya orang hanya merasa mengeluh gatal-gatal kulitnya. Kemudian gatal-gatal menjadi bintul-bintul yang apabila digaruk lecet mengeluarkan cairan putih. Jadilah borok menyebar di masing-masing keluarga. Hanya warga yang berperilaku bersih tentunya dapat terhidar dari penyakit borok. Berbagai media mengekspos merebaknya penyakit borok di lingkungan desaku. Menyebarlah berita penyakit borok ke seluruh antero daya jangkau mass media itu. ***
            Namanya Selo. Karena sudah usia lanjut, orang memberi nama Kaki Selo. Selo artinya batu. Seperti namanya, orangnya keras seperti batu perangainya. Keseharian pada usia muda mencari ikan dengan jala. Kini pada usia tua beralih profesi berternak, mencari dan berburu kadal ijo. Entah mengapa kadal ijo menjadi penopang hidupnya hingga mengantar anak-anaknya menuju kehidupan yang layak dengan bekerja di manca negara. Kini Kaki Selo tidak lagi punya anak yang tinggal di rumah, semua anaknya sudah mandiri. Artinya Kaki Selo hanya bersama istrinya Nini Selo di rumahnya dibantu empat orang laki-laki mengurus Kadal Ijo.
            Keluarga Kaki Selo sewaktu anak-anaknya masih kecil, masih berkumpul, merupakan keluarga yang diasingkan tetangganya dan orang lain. Mereke semua mengidap penyakit kulit berupa borok. Sampai pada suatu saat Kaki Selo dalam mencari ikan dengan jala tak sengaja mendapatkan seekor kadal ijo. Kadal ijo kemudian dibawa pulang bersama ikan-ikan yang diperoleh dari sungai. Dengan diam-diam Kaki Selo mengolah kadal ijo itu kemudian dimakan bersama keluargnya. Selang beberapa waktu kemudian Kaki Selo dan seluruh anggota keluarganya sembuh dari penyakit borok. Mulai saat itu tetangga dan masyarakat sekitar tidak lagi mengasingkan keluarga Kaki Selo. Dan Kaki Selo dari kejadian itu lebih sering berburu kadal ijo daripada mencari ikan.
            Aku bertandang ke rumah Kaki Selo untuk meyakinkan kebenaran khabar tentang ternak kadal ijo. Rumahnya jauh sekali di tepian hutan. Harus ditempuh beberapa jam untuk sampai ke rumahnyaa, itupun harus dengan kendaraan roda dua dan masih ditambah jalan kaki. Orang tidak akan kesasar nencari rumah Kaki selo karena ada rambu-rambu jalan bergambar kadal ijo menuju rumahnya. Dan hanya orang buta dan tidak mau tahu rambu-rambu akan kesasar sampai hutan lindung di belakang rumah Kaki selo. Aku ssampai di rumah Kaki Selo tanpa kesulitan pada saat matahari menatap tegak lurus permukaan bumi.  
            Memasuki pelataran rumah Kaki Selo seperti masuk ke dunia lain, sepi, sunyi, namun memancarkan suasana kedamaian. Pohon-pohon besar melindungi pelataran dari tatapan sinar matahari. Sejumlah pranji atau sangkar kadal ijo dari bambu berjejer di sana sini mengelilingi rumah Kaki Selo. Empat pembantu menjaga dan memelihara dari empat penjuru arah mata angin sesuai asal kadal ijo itu. Bau khas kadal ijo “langu” menyebar bersama hembusan angin yang menghampiri tiap-tiap pranji atau sangkar kadal ijo itu.
            Salah satu pembantu Kaki Selo menemui aku menanyakan keperluan kedatanganku. Pembantu itu memaklumi dan mengatakan bahwa Kaki Selo sedang istirahat tidak boleh diganggu karena sejak pagi Kaki Selo kedatangan beberapa tamu minta ditambani penyakit boroknya. Aku menyempatkan ngobrol dengan keempat pembantu Kaki Selo.
            Empat pembantu Kaki Selo ngpbrol ngalor ngidul denganku. Tetek bengek diomongkan, dari keseharian Kaki Selo sampai ternak Kadal Ijo yang diambil dari empat penjuru mata angin. Kadal Ijo yang dari arah utara rumah dipelihara satu orang pembantu untuk menyembuhkan orang-orang berpenyakit borok dari arah utara, begitu seterusnya untuk arah mata angin yang lain. Kata pembantu juga, ada orang yang memberlakukan kadal ijo seperti kadal Mesir untuk vitalitas pria sama halnya dengan viagra. Tapi itu belum menjadi legalitas Kaki Selo, maksudnya Kaki Selo belum mengiyakan khasiat kadal ijo untuk yang lain selain penyakit borok.
            Dari cerita keempat pembantu Kaki Selo, ada salah satu yang menarik. Suatu ketika Kaki Selo kedatangan perempuan muda, cantik dan menarik. Perempuan itu pernah bersumpah kalau sembuh dari penyakit boroknya akan bersedia mengabdi menjadi istri Kaki Selo. Namun Kaki Selo telah lupa dengan sumpah yang diucapkan perempuan itu. Sebenarnya Kaki Selo tersentuh hati dan kejantanannya menghadapi perempuan itu dalam keadaan memelas dan meminta. Hal itu disadari benar oleh Kali Selo karena hati dan kejantanan seorang lelaki tidak mengenal usia lanjut selama fungsi organ tubuhnya masih bekerja dengan baik. Namun demikian Kaki Selo tidak serta merta meladeni sentuhan hati perempuan itu. Barangkali juga Kaki Selo telah teguh dengan sumpahnya ingin menjadi orang bermanfat tanpa mengorbankan harga dirinya, atau Kaki Selo telah membelenggu diri dengan tali-tali keyakinanya.
            Kaki Selo menyambut kedatanganku setelah menikmati istirahat yang cukup.  Kuceritakan maksud kedatanganku. Kemudian Kaki Selo menyampaikan beberapa hal hubungannya dengan kadal ijo di lingkungan desaku.
            “Mas, kadal ijo di desa sini sangat berarti sekali untuk nambani penyakit borok. Dulu di desa ini tiap keluarga ada yang terkena penyakit borok. Semenjak aku memburu, memelihara dan menangkarkan kadal ijo untuk penyembuhan penyakit borok, desa ini sudah terbebas dari wabah penyakit borok. Merebaknya penyakit borok biasanya muncul bersamaan dengan munculnya banyak kadal ijo. Di desa Sampeyan seperti itu, kan?”.
            Aku manggut-manggut. Aku menyampaikan bagaimana mengatasinya.
            “Sampeyan jangan khawatir, aku mau bantu Sampeyan mengatasi hal ini. Harus disosialisasikan terlebih dahulu penyembuhan borok dengan kadal ijo. Kedengarannya memang menjijikkan, tapi itu obat satu-satunya yang murah terjangkau masyarakat. Dan sampai pada saat ini aku belum menemukan obat borok yang lain”.
            “Cara menangkap kadal ijo?”
            “Pertama kita harus mengenal sifat kadal ijo yang suka berubah warna dengan cepat. Untuk menangkap kadal ijo harus dengan kadal ijo. Kadal ijo akan mendekat sesama kadal ijo manakala ada kadal ijo yang lain. Itu sifatnya, suka berkelompok dengan yang lain”.
            “Kalau begitu aku harus bagaimana?”
            “Sampeyan boleh membawa kadal ijo sejumlah yang kamu butuhkan”.
            “Ha ... ! Caranya?”
            “Karena kadal ijo mudah berubah warna dan menghilang dengan cepat, maka kita harus tahu kapan kadal ijo tidak dapat berubah warna. Kadal ijo tidak dapat berubah warna dan lamur matanya ketika masuk saat sandekala atau pergantian siang dan malam, ketika matahari mengakhiri perjalanannya sepanjang siang”.
            “Cara praktisnya?”
            “Ikat kadal ijo yang Sampeyan bawa dari sini di tempat yang sunyi. Olesi tempat kadal ijo diikat dengan minyak kadal ijo supaya kadal ijo yang lain terpengaruh dan merubung kadal ijo yang ada. Saat sandekala tiba Sampeyan tinggal menangkap saru persatu kadal ijo yang merubung”.
            “Minyak kadal ijonya?”
            “Gampang, aku sudah banyak membuat minyak kadal ijo untuk keperluan yang sama, nambani borok bagi orang yang merasa jijik mengkonsumsi kadal ijo, apa itu dimasak atau disate”.
            “Masih ada lagi?”
            “Oh, ya. Tentukan pusat pengendali di tengah-tengah desa atau di rumah Sampeyan. Pastikan arah mata angin untuk penentuan asal kadal ijo bagi penderita penyakit borok dari arah mata angin yang sama”.
            “Masih ada cara tersisa?”
            “Jangan lupa berdoa! Semuanya tidak berarti apa-apa tanpa kuasa-Nya”.
            “Biayanya?”
            “Ah, itu gampang. Kalau sudah ada hasilnya, baru Sampeyan pikirkan. Jer basuki mawa bea. Begitu, kan?”
            Aku mengiyakan. Aku membawa seluruh apa yang diberikan ole Kaki Selo. Tentu Kaki Selo menyuruh salah satu pembantunya untuk ikut terlaksana dan suksesnya penangkapan kadal ijo di lingkungan desaku. Dan Kaki selo menyarankan kalau ada kesulitan bisa menghubunginya lewat pensel yang dipegang para pembantunya. ***

            Aku menjadi seperti Kaki Selo. Segala apa yang dikatakan Kaki Selo aku lakukan, memburu, menangkap dan memelihara kadal ijo untuk melayani penyembuhan penyakit  borok di lingkungan desaku. Pada awalnya istri dan anak-anakku merasa jijik dengan kadal ijo itu, tetapi setelah mendatangkan imbalan berganda mendukung perekonomian keluarga mereka sangat akrab dengan kadal ijo-kadal ijo itu. Utamanya dalam penyembuhan orang-orang yang terkena penyakit borok.
            Belum genap satu tahun, wabah penyakit borok di lingkungan desaku sudah dinyatakan lenyap bebas penyakit borok. Imbasnya masyarakat menganggap aku sebagai orang yang paling berjasa. Mengalirlah berbagai bentuk penghargaan yang tak terduga, terutama berupa uang yang dapat aku gunakan membangun kelayakan, bahkan juga kemewahan dalam keluargaku. Bersamaan dengan itu, aku mengurangi aktivitas yang besentuhan dengan kadal ijo, bahkan aku ingin menghentikan sama sekali karena sudah jarang orang membutuhkan kadal ijo untuk penyembuhan borok. Dan aku sudah merasa cukup banyak dalam mengabdi mengangkat harga diri masyarakat, bebas dari penyakit borok.
            Lama aku bergelimang kelayakan hidup dari lisensi Kaki Selo menyembuhkan borok dengan kadal ijo. Selama itu pula aku melupakan Kaki Selo dengan janji-janjiku yang pernah aku ucapkan. Waktu itu aku berjanji akan membayar semua apa yang telah diberikan Kaki Selo, tapi tidak aku lakukan. Lisensi Kadal Ijo unutuk penyembuhan borok keuntungannya tidak aku alirkan kepada Kaki Selo. Aku dengan serakah menikmati sendiri dan aku tidak merasa ada beban apa pun perihal Kaki Selo dan Kadal Ijo. Sudah aku lupakan semua.
            Sudah dua minggu kematian Kaki Selo baru sampai kabarnya kepadaku. Katanya aku tidak boleh datang dan memberi penghormatan terakhir. Katanya aku tidak dapat dipercaya dan tidak dapat memegang janji. Ia tidak rela pada lisensi kadal ijo yang aku pakai untuk penyembuhan borok. Aku merasa banyak berdosa berhutang budi dan materi kepadanya.
            Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus dosa-dosa dan berhutang secara materi kepada kaki Selo. Sementara itu, sejak sepeninggal Kaki Selo, kadal ijo banyak muncul dan berkembang lagi di lingkungan desaku dan desa Kaki Selo. Sudah digariskan berkembangnya kadal ijo akan bersamaan merebaknya lagi penyakit borok. Kemudian orang beramai-ramai tanpa dikomando memburu kadal ijo dengan caranya sendiri untuk penyembuhan penyakit borok. Namun penyakit borok kali ini tetap mewabah dan kebal walaupun ditambani kadal ijo. Hanya orang yang berperilaku bersih tidak akan pernah terjangkit penyakit borok.


                                                                                                Kebarongan, 25 Mei 2008.








  
  
                 

Minggu, 19 Februari 2012


JENENGE WAKEM

            Jenenge Wakem. Wis sarjana. Mbuh sarjana apa, ora tau ngaku. Anake wong sugih, lan kayane mandan keturunan ningrat utawa darah biru. Jenengan Wakem dudu jeneng asline. Jeneng asline Siti Turmini, mbuh apane sing mini. Jenengan Wakem paraban kanca batire sing padha ora seneng maring klakuane sing ora nyenengna, dendam lan mbethithil contone. Wakem singkatan wanita kemayu, tegese ya anu ora ayu. Dheweke ora ngerti ana paraban jeneng kaya kuwe, lan jenengan Wakem suwe-suwe luwih dekenal tenimbang jenengan asline.
            Wakem umure wis ndhas-ndhasan telu, kurang rong tahun maning wis genep patang puluh tahun, tegese dadi prawan tua urung payu rabi. Jane tah Wakem kepengin cepet-cepet rabi, ningen wong lanang sing desengi rabi kabeh pada mundur teratur, jerene cangkem lan kringete mambu ora enak. Utawa nek ana wong lanang sing seneng, Wakeme sing ora cocog, jere ora level dudu kelase. Senengane Wakem malah karo bocah nembe brahi (BNB) utawa ABG, jere sing kepenak delomboni. Nyatane malah sewalike, Wakem sering kelombon. Nek Wakem wis metu duwite, ABG-ne lunga minggat ngadohi.
            Postur blegejede Wakem ora patiya dhuwur, sedhengan. Kulite sawo mateng. Raine lonjong, oval. Rambute kandel ireng, dawane sebahu. Matane bunder gedhe karo wulu mata sing ndeplik. Alise ireng tipis kaya wulan sabit mlengkung. Pipine montok karo derias kukul siji loro. Irunge mandan mancung. Lambene kandel sensual. Untune lemu-lemu lan sing ngarep mandan nongol meh ngluwihi lambene. Janggute bak lebah bergantung. Gulune mandan dawa derias untaian kalung emas sing gedhe. Kupinge caplang deriasi anting mas sing apik. Sekang gulu mengisor tekan sikil ora bisa degambarna sebabe gandhengan karo hal-hal sing sensitip lan ketutup. Paling-paling tangan karo sikile. Tangane sing kiwa pergelangane derias karo gelang keroncong sing gedhe kanti driji-driji sing molek kaya penari, lan tlapak tangan sing alus pertandha ora tau kerja abot. Kuku-kuku driji tangan lan sikile dicet abang kaya kulit mlinjo mateng. Oh, ya, sikile sing kiwa uga delengkapi karo kalung emas sing manis.
            Klangenane Wakem blanja lan mangan-mangan. Panganan sing desenengi Wakem yakuwe bakso sing detumpleki sambel meh seprapat porsi. Bisa baen sedinane Wakem mangan bakso lewih tekan telung porsi. Wakem ngerti banget bakul bakso sing baksone paling enak. Jere Wakem, tambah lemu bakul panganan tambah enak panganane. Sejen karo sastrawan utawa budayawan, tambah gering  tambah enak karyane denikmati sebabe akeh priyatine.
            Werna sing desenengi Wakem werna ireng. Kenangapa seneng werna ireng? “Werna ireng kuwe bagian sekang werna. Inyong seneng werna ireng sebabe bisa nutup noda. Werna ireng bisa dadi werna tantangan, sebabe ana gambaran konotasi sing negatip, kaya kambing hitam, dunia hitam, lembah hitam, daftar hitam lan liyane. Lan inyong tertarik werna ireng sebabe uga akeh sing demen, kaya hitam manis, mutiara hitam, hitam gula jawa, beras ketan ireng, black coffee, lan liyane”.
            Wakem kelebu wong wadon sing kreatip gole nyandhang. Dheweke gawe dhewek klambi-klambine kanti model-model sing up to date. Sing dadi prinsipe milih bahan klambi yakuwe kudu beda karo wong liya. Prinsip kiye detrapna nang Wakem kanti ngger tuku klambi nang nggon sing adoh lewih kang satus kilometer, supayane men ora nana wong sijiya sing ngembari klambine. Nek ana wong ngembari klambine nang lingkungane, cepet-cepet Wakem mbuang utawa mbakar klambi kuwe. Tumrape Wakem luwih apik debuang utawa debakar klambi kuwe tenimbang dewekna kanggo kesenengan wong liya.
            Istimewane Wakem yakuwe pinter gaul utawa nggolet batir. Gaul tumrape dheweke kaya panggilan sekang ati. Pinter gaul sapa wonge modale ya pinter ngomong. Kanti kepinteran ngomonge Wakem bisa gaul karo sapa baen. Intine Wakem dekenal nang sapa baen nang lingkungane. Mungkin nek Wakem mlebu nang dunia bisnis, dheweke desogna nang bagian ujung tombak kanggo nglobi langganane mbangun networking utawa jaringan kerja lan partnership. Utawa nek Wakem mlebu nang kepartean wis semestine depilih dadi juru kampanye dadi perangkap nggolet massa.
            Sekang pinter ngomonge Wakem kecebur mlebu maring jaringan usaha multi level marketing sing jerene bisa ngraup keuntungan cepet utawa instan. Kanti kepinteran ngomonge Wakem bisa nggiring wong-wong kon pada mlebu nandur modale. Sing kaya kiye ndadekna Wakem bisa mbawahi ranting-ranting sing ngucurna dana. Tambah akeh ranting sing tukul, tambah akeh Wakem nggole olih keuntungan. Kanti prestasi kuwe uga Wakem dewei sanjungan nang Boss multi level marketing hadiah mobil. Mbuh kenang apa, meneng-meneng wektu kuwe uga Wakem mutusna metu sekang bisnis MLM lan kedudukane dedol maring wong liya. Kaya-kayane Wakem ngerti apa sing arep kedaden, bisnis MLM  pirang-pirang tahun mengarep kolap lan bangkrut. Wakem dhewek ora ngerti kejerat ukum apa ora. Nyatane Wakem ayem baen mobilan maring ngendi ora.
            Ora derencana babar pisan Wakem ngedol mobile. Wakem ora ngerti nggo ngapa duite. Wong sing ngerti agi kepepet masalah dhuit teka maring Wakem nembung utang, ya tentune nganggo janjen ketulis mbaleknane lipat ganda. Kaya kuwe seteruse, bondong-bondong kaya barisan wong teka maring Wakem utang dhuit. Wakem ngrasakna kepenak lan enake sekang untunge nggandakna dhuite. Sekang kenikmatan kiye ndadekna getihe Wakem dadi panas nyebabna syarap-syarape ngobahna kelakuan sing ora apik. Kerak-kerak atos nutupi atine Wakem ngedohi sekang bebrayan sing apik. Raine Wakem wis ora sumeh maning nang bebrayan. Kesumehan nang Wakem mung sewates kanggo mbungkus perangkap wong-wong sing arep mlebu nyelang dhuite. Kaya kuwe, dhuit wis dadi Maha Dewa kanggo nentukna dalan uripe, dalan urip sing deyakini bisa nggo gantungan wong liya lan akeh untunge. Kabeh mau ndadekna Wakem dadi Boss Dhuit, nganti gawe cabang sing ora sethithik jumlahe nggo nglayani dhuite Wakem. Wah, pokoke Wakem keton hebat pisan.
            Ana wektune esuk ganti awan, awan ganti sore lan sore remeng-remeng ganti wengi. Wakem ngrasakna apa-apa dhewekan kudu derobah men karo wong liya. Mangsude Wakem ora kepengin terus-terusan dhewekan, kepengin nduwe bojo nggo ngrasakna bareng nang wektu seneng lan susahe. Napine ora gampang kanggone Wakem nggolet bojo sing ideal sekang wong wadon sing wis umur patang puluh lewih kanti rai sing pas-pasan lan ora ayu, karo maninge awake ginuk-ginuk lemu. Wong sing arep ngarah ya pikir-pikir, sing dearah apane? Nek ndeleng umure wis ora produktip, rentan nggo nggolet keturunan. Paling-paling nang segi donyane, wong lanang padha akeh sing ngiler kepengin kesawaban. Lan Wakem angel detebak morale kaya ngapa awit dhuit kanggone Wakem degolet kepenak pisan.
            Garise wong urip sing dejalani ora bakalan nggletak mblegejed, biasane ana usaha kanggo cara sing werna-werna men garise urip lewih ana maknane. Lan garise urip Wakem nggolet bojo dadi program sing utama. Kabeh usaha delakoni kanggo ngarah bojo. Usaha sing paling gedhe biayane kerja bareng karo dhukun sing mumpuni. Usaha dhukun uga ora nana kasile, ora nana wong lanang sing dedaftar dadi nominasi mlebu maring perangkape. Wis akeh banget dhuit sing mubral-mubral ora etungan kanggo usaha nggolet bojo. Sebanjure, sebab krasa kesel, Wakem mutusna mandeg dhisit nggole nggolet bojo, nglokro kepengin urip dhewekan baen.
            Nek esih percaya, cokane jodho ora usah degolet mengendi-endi, arep teka dhewek alon-alon napine klakon. Wis adoh banget nek deturut usahane Wakem nggolet bojo, depikir rasane kesel pisan. Ora denyana babar pisan wong sing ora kelebu nominasi nggolet bojo aweh pengarep-arep ngrisiki karo ukara-ukara sing ndemeni pisan tumrape Wakem. Dheweke sopire Wakem sing anyar lan ngaku esih “lan” utawa bujangan. Wakem dhewek nanggapi polahe sopire kuwe mandan-mandan alon ora patiya detanggapi. Wakem bingung antarane ya lan ora. Napine atose watu bisa gripis kenang tetese banyu sing terus-terusan. Wakem nglegoso ketelem ngrasakna endahe taman sing degelar nang sopire. Kembang-kembang padha obah lenggak-lenggok kedamu angin nembangna tembang asmara. Manuk-manuk, kupu-kupu lan kumbang-kumbang padha melu nembang nyambut dewa-dewi sing lagi ngedu panah asmarane.
            Rencana akad nikahe Wakem wis kesebar. Tanggapane wong beda-beda maring rencana kuwe. Ana sing nanggapi sinis utawa miring, “Gentawelan suwe nggolet bojo jebule mung olih sopire”. Napine nang sing nduwe respon positip, “Wis dadi garise ora usah pada werna-werna ora usah gegoh”. Nggo ngimbangi brita sing semebar, Wakem age-age cepet gawe undangan akad nikahe. Lan undangan dewatesi Wakem nggo wong-wong kelas menengah maring nduwur, lan siji loro nggo wong menengah maring ngisor.
            Perhelatan nikahane Wakem degelar gedhe-gedhean. Tobong tarub detekakna sing paling gedhe lan apik. Kanggo njagong temon penganten derias kraton desogna nang nggon sing paling ngarep ngadep jagongane tamu. Panggung orgen tunggal degelar nang ngarep sebelah tengen. Dejejer nggon panganan suguhan nang ngarep sebelah kiwa; ana soto, sate, bakso, es krim, es buah, dawet ayu,  lan panganan-panganan nyamikan lan buah-buahan. Nggon sing nggo njemput tamu desogna nang paling ngarep delengkapi buku tamu. Kotak sumbangan bentuk umah desogna nang sandhing penjeput tamu. Kru paket shooting film arep ngabadikna upacara pernikahane Wakem.
            Awan kuwe tamu-tamu wis pada teka, napine urung akeh. Acara akad nikah age-age cepet dewiwiti. Penghulu karep cepet-cepet dewiwiti sebabe penghulu uga arep nulis nikahane wong nang nggon liyane, sebabe uga wong nikahan nang wulan sing apik kuwe ora sethithik jumlahe. Prosesi akad nikahe enggal dewiwiti. Gending Kebogiro mbarengi penganten keloron mlebu maring nggon tempat pernikahan.
            Mbarengi prosesi akad nikahe Wakem, mbang bludus pada pating gedebug pating pecicil, ana serombongan wong sing padha serik nganakna demo utawa unjuk rasa, jumlahe kira-kira telung puluhan. Jere dheweke pada ngaku klakon delomboni lan gandheng karo utang piutange Wakem sing durung delunasi. Sing padha demo padha nggawa poster-poster tulisan sing isine werna-werna. “Wakem tukang nglombo! Balekna dhuite inyong!”, postere wong sing nglakon delomboni dadi pegawai negri.  Poster-poster liyane, ”Lunasi dhisit utange, nembe kawin!”, “Kawin aja ancik-ancik sengsarane wong liya”, “Wakem aja mung lamisan, omonge thok sing gedhe!”. Kuwe kabeh mau uneg-unege sing padha unjuk rasa. Lan pimpinane demo uga ngomong nganggo corong cilik, “Wakem, deleng wong-wong sing degawe lara atine nang ko, padha siap gawe polah apa baen! Nek perlu mbubarna pesta perkawinan kiye! Men ko dewek ngerti pada karo keciwane inyong kabeh sing digawe nang ko”.
            Kaya kuwe akad nikahe Wakem, derubesi nang pengunjuk rasa. Akad nikah sing dekarepna adhem ayem lan damai derubesi nang ontran-ontran pendemo. Ora nana pengamanan sing desiapna ndadekna sing padha demo padha polah sekarepe dhewek, kelebu mlebu maring nggon pesta pernikahan. Kabeh mau dadi nambahi ruwet. Siji-siji pendemo nganggo corong berorasi kanti suara seru pisan. Ora nana wong sing wani ngendeg polahe pendemo. Ora nana wong sing ngundang pehak keamanan setempat. Kabeh-kabeh tamu wis padha maklum karo keadaan kaya kuwe.
            Sekang situasi sing ribut kaya kuwe ujug-ujug ana wong wadon enom nggendong bocah cilik umur balita. Wong wadon kuwe age-age gagean mlebu melu rombongan pendemo. Ora nana wong ngerti wong wadon kuwe arep ngapa. Wong wadon kuwe ngrebut corong sing degawa pendemo. Karo suara sing seru lan emosi wong wadon kuwe ngumbar omongane.
            “Sedulur-sedulur! Akad nikah kiye ora olih keleksanan! Inyong bojo sing syah calon penganten lanang. Pak Penghulu kudu mbatalna pernikahan kiye!  Inyong nggawa surat nikah sing syah. Kiye, kabeh olih ndeleng lan neliti”, wong wadon kuwe mbeberna surat nikahe.
            Wakem ora bisa nahan pikiran lan perasaan sekang situasi sing ora dekarepna kuwe. Ora “Nyebut” ora Istighfar, Wakem lemes, semaput. Kru shooting film nyorot kabeh kedadeyan sing ana kaya drama sinetron sing agi degawe. Sebanjure ana wong sing ngomong, “Wakem, kiye kabeh ko sing nandur”.
                                                                                    Kebarongan, 22 Meret 2011

                                                                                                                                                                                   


  
           
  
                







KARTO KROTO
Oleh : Sugiharto

            Sudah turun temurun keluarga Karto mencari kroto. Karto adalah generasi ke tujuh pencari kroto di keluarga itu.  Jarang atau tidak ada keluarga lain pencari kroto di daerah itu. Kalau pun ada pencari-pencari kroto yang lain, tentu tidak seprofesional keluarga Karto. Keprofesionalan Karto menjadi satu sebab kesuksesannya. Jadilah nama yang melekat pada Karto , Karto Kroto.
Pada awalnya Karto tidak mau meneruskan warisan sebagai pencari kroto, merasa nista bila menyandang predikat itu. Berbagai cara Karto membuat alasan untuk menolaknya. Tapi, itu tidak akan menyurutkan keluarga Karto untuk menjadikan Karto pewaris satu-satunya yang sudh cukup dewasa. Kakak  Karto, Kartem, tidak mungkin mewarisi sebagai pencari kroto, karena perempuan dan  sudah menikah. Adik Karto, Kartiyem, juga perempuan, usia belasan tahun harus membantu ibunya  berjualan di pasar. Dengan demikian, mau tidak mau Karto  harus menerima warisan itu.
Hal yang tidak pernah terlupakan bagi Karto adalah ketika ayah Karto mewisudanya menjadi pencari kroto. Waktu itu Karto harus melalui tahapan-tahapan wisuda. Tahap pertama, Karto harus berpuasa selama satu minggu. Tahap kedua, Karto harus bisa memanjat pohon alba di dekat rumahnya, sedikitnya sepuluh kali sehari selama satu minggu. Dan tahap ketiga, tahap terakhir,  bagi Karto adalah tahap yang sangat memberatkan dan memilukan.  Karto harus merangkul pohon alba dengan telanjang dada selama satu hari dan pohon alba itu dipenuhi dengan  satu  sarang semut klangkrang.  Itupun belum selesai, Karto harus merangkak menghadap ayahnya dan sekaligus akan  diberi tanda wisuda di pangkal lengan kanannya dengan menggoreskan jarum kecil yang diolesi getah biji jambu mete seperti cara imunisasi cacar jaman dulu. Jadilah tanda yang membekas selama-lamanya, bagaikan tato permanen.
Selesai acara wisuda, selanjutnya Karto harus menyiapkan alat pencari kroto. Sebatang bambu kecil panjang lurus harus didapatnya. Tidak mudah mendapat bambu yang dimaksudkan. Kecuali harus didapat di tebing yang cukup sulit dijangkau, musim tua juga harus dipikirkan kalau bambu yang didapat tidak ingin cepat termakan rayap bambu. Alat lain adalah sebuah kerucut kukusan dari anyaman bambu, yang nantinya akan ditaruh di iujung bambu meraih sarang semut klangkrang sebagai wadah kroto. Alat-alat itu semua harus direndam dalam air berlumpur selama satu  minggu untuk mendapatkan keawetan. Syarat lain, setelah kering, alat-alat itu harus dipoles dengan pewarna pucuk daun jati muda sebagai ciri khas warna keberanian keluarga Karto, merah muda. Pencarian kroto dilakoni setiap hari. Ada kejadian yang tidak pernah terlupakan bagi Karto. Ketika memulai menjulurkan alat bambu membidik sebuah sarang semut klangkrang yang cukup jauh dan tinggi dari jangkauannya, juga kebetulan lurus dengan tatapan sinar matahari, ternyata bukan sarang semut klangkrang yang diogrok, tetapi sebuah sarang tawon baluh yang cukup besar. Karuan saja, semua tawon di sarang itu bubar dan marah, memburu pengusik kedamaian tawon-tawon itu. Karto yang sedang asyik mengogrok di bawah silaunya tatapan matahari, seketika kaget dari amukan tawon-tawon yang marah. Karto secepat kilat melorot dari pohon itu dan lari terbirit menuju sungai mencebur di dalamnya. Sial, sungai itu tidak terlalu dalam airnya, sehingga Karto tetap tersengat beberapa tawon itu pada bagian badan yang tidak terbenam ke dalam air. Ada yang lain, perih bagian badan yang babak belur terasa lebih perih karena bersentuhan dengan air. Belum lagi, alat vitalnya juga terasa hilang karena tertekan selagi melorot secepat kilat.  
Pada umumnya nama laki-laki di daerahnya Karto berakhir dengan  huruf  “o”, seperti: Saryo, Bejo, Parmo, Karno, Sito, Sono, Mono, Karso, Darno  dan lain-lainnya. Katanya dengan nama berakhir huruf vokal “o”, seorang lelaki akan dapat menyampaikan suara isi hati secara tenang, lugas dan polos, ceplas-ceplos, tidak tedeng aling-aling. Lain halnya dengan nama-nama untuk perempuan. Nama-nama untuk perempuan berakhir bersajak “em”, seperti: Kasem, Kasiem, Sanem, Mijem, Dakem, Bonem, Marisem, Ayem dan lain-lainnya, berakhir dengan mulut membungkam atau mingkem. Katanya perempuan dengan nama yang berakhir dengan “em” akan mudah dan penurut dalam membangun rumah tangga, tidak neka-neka dan tidak banyak bicara, damai adem ayem,  sendika dawuh, “sorga nunut neraka katut”, katanya. Itulah nama. Bagi sebagian orang, apalah artinya sebuah nama. Tapi, bagi sebagian yang lain, nama adalah harapan dan doa yang membimbing seseorang di dunia dan akhirat.     
Tidak terlalu lama Karto menjadi pengusaha kroto dan tidak lagi sebagai pencari kroto. Waris mewarisi sebagai pencari kroto sudah diputus siklusnya, tidak akan ada lagi waris mewarisi pencari kroto di keluarganya. Kali ini Karto menguasai pemasaran kroto di daerahnya. Dihimpunnya beberapa tenaga untuk membantu usahanya. Ada tenaga khusus pencari kroto. Ada tenaga penghimpun dan pemasarannya. Di samping itu, Karto juga berusaha memelihara atau beternak kroto di pekarangannya. Hal ini bagi Karto supaya tidak pernah kehabisan stok kroto.
Ada yang sulit untuk diketahui ada rahasia apa burung-burung ocehan yang diberi makan krotonya Karto, akan mengoceh dengan ocehan yang sangat indah dan merdu melebihi ocehan biasanya. Ini yang menjadikan krotonya Karto jadi pendengan atau langganan yang memburu bagi  para pemelihara burung ocehan. Bahkan ada kalanya burung-burung yang telah pernah diberi pakan krotonya Karto akan ngambek tidak mau makan dan mengoceh bila diberi pakan kroto selain krotonya Karto.
Melihat dari dekat lingkungan pekarangan milik Karto sudah menjadi tempat sarang-sarang ternak kroto. Untuk itu, Karto sudah menyiapkan tanaman pepohonan yang daunnya cukup lebar untuk dijadikan sarang bagi jenis semut klangkrang untuk menghasilkan telor atau anak yang disebut kroto. Bergelantungan sarang-sarang klangkrang di pepohonan bak gumpalan-gumpalan bola hijau. Ada kalanya sarang-sarang klangkrang berwarna kuning atau hitam karena sarang yang terbuat dari daun sudah lama atau tua. Di situlah sarang-sarang klangkrang sudah bisa diunduh atau dipanen krotonya.
Yang menjadi dasar melangkah kemajuan Karto adalah keberanian dalam mencari peluang usaha yang lain, yang dimulai dari keberanian Karto memutus mata rantai turun temurun keluarga pencari kroto. Usaha yang sedang digeluti Karto adalah penangkaran berbagai jenis burung ocehan yang mau memakan kroto: kutilang, jalak, kepudang, trocokan, cicak rowo, goci, sirdung, kedasih, prenjak, sikatan, beo dan burung-burung asing yang lain pemakan kroto. Untuk itu, Karto membuat rumah burung ukuran besar dengan atap kawat kasa seperti di taman burung, yang membuat burung-burung betah, terlepas seperti di habitatnya. Tidak cukup sampai di situ, Karto punya ide membangun taman  burung sekala besar dengan mengisi koleksi burung dari berbagai penjuru daerah dan akan menamakan “Taman Burung Kroto”. Akhirnya, Karto terdaftar menjadi anggota pencinta burung yang cukup terkenal.
Burung ocehan favorit Karto adalah burung beo. Burung-burung beo dilatih menirukan berbagai pembicaraan. Cara melatih burung-burung beo bicara dilakukan Karto melalui tahapan-tahapan yang unik cara Karto. Pertama, tahap pemilihan burung yang berkualitas nyaring suaranya, tentunya burung jantan, diketahui dari suara itu apabila burung dalam genggaman yang cukup kuat meronta dan mengeluarkan suaranya. Kedua, burung beo dipotong sedikit ujung lidahnya dengan gunting kecil yang dipesan khusus berukuran paruh atau cucuk burung beo itu sendiri, yang terbuat dari emas. Ketiga, seminggu sekali burung beo itu harus di kerok lidahnya seperti diamplas halus, dengan cincin emas. Keempat, burung beo itu kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang diberi selubung kain sarung sutera. Kelima, burung beo harus minum air ludah Karto dengan cara paruh burung dimasukkan ke dalam mulut Karto. Keenam, burung beo itu disetelkan bunyi-bunyian melalui tape recorder atau CD sesuai keinginan Karto atau pesanan orang lain, terutama bunyi jawaban salam, “ ‘Alaikum Salam”. Burung-burung beo yang sudah bisa berbicara sesuai keinginan itu selalu habis dibawa orang, artinya laku terjual, dengan diringi satu paket kata-kata Karto, “Jangan pernah mengajari dan memperdengarkan kata-kata jelek atau kotor pada burung beo itu, karena burung beo hanya sebatas membeo”.
Hari-hari Karto tiada hari tanpa burung  beo. Pagi hari setelah subuh, Karto meneliti  memastikan burung-burung beo yang sedang dalam proses latihan bicara masih berada di dalam kurungannya masing-masing. Agak siang sedikit, waktu matahari terbit, Karto mengeluarkan kurungan-kurungan berisi burung beo ke halaman yang cukup terkena sinar matahari. Selagi matahari memberikan kehangatannya, Karto mulai memandikan burung-burung beo itu dengan alat semprotan kecil yang bisa menghasilkan semprotan air yang lembut membelai membasahi burung-burung beo itu. Setelah matahari cukup tinggi dan terasa menyengat pori-pori dan burung-burung beo sudah kelihatan kering, kemudian kurungan-kurungan itu ditutup lagi dengan kain sarung sutra. Lalu, Karto menyetel bunyi-bunyian dengan tape recorder kecil sesuai paket bunyi yang diinginkan di setiap burung beo yang ada dalam kurungan itu.
Sudah puluhan burung beo bisa bicara melalui ketelatenan Karto. Sebagian besar burung-burung beo itu dimiliki oleh orang-orang yang memilki kemudahan dalam mencari duit dengan cara tidak semestinya. Tidak heran kalau burung-burung beo itu juga terpengaruh lingkungan orang-orang tersebut. Burung-burung beo itu menjadi banyak bertingkah dan bicara tidak nggenah, ngalor ngidul tidak karuan. Ada kalanya burung-burung beo itu bicara saru dan jorok, melebihi saru dan joroknya pembicaraan wanita sundal. Burung-burung  beo itu malah dianggap hebat dan unik oleh pemiliknya karena bisa bicara saru dan jorok, pemiliknya bahkan merasa bangga dan tertawa melonjak ketika burung beo itu bicara seperti yang dimaksudkan.
Suatu ketika ada pejabat datang dengan para ajudannya ke rumah Karto mebawa  burung beo. Rupanya dia salah satu pemilik burung-burung beo hasil didikan Karto. Burung beo itu dikeluarkan dari mobilnya. Belum sempat bicara apa pun orang itu di depan Karto, burung beo itu mendahului bicara.
 “Tolong! Tolong! Keluarkan aku! Tolong aku, Karto!”   
“Maaf, Pak Karto! Selama ini burung beo ini bicaranya aneh-aneh. Sering nglantur, mengatakan yang tidak-tidak kepada seluruh anggota keluarga saya”, begitu pejabat itu mengatakan atau wadul kepada Karto. “Saya minta ditukar dengan burung beo yang lain yang sudah bisa bicara”, tambahnya.
Belum dijawab oleh Karto, burung beo itu mendahului berkata, menyela.
“Jangan mau! Jangan mau! Pejabat koruptor! Pejabat koruptor!”
Karto tersenyum. Sebaliknya, pejabat itu menampakkan wajah yang marah dan kecewa. Tidak menduga burung beo itu menohok dirinya seperti itu.
Karto diam saja. Dia tidak akan mengatakan bahwa burung beo berulah seperti itu  tentu sebagai gambaran pemiliknya.
“Begini, Pak. Untuk mengembalikan burung beo bicara yang baik-baik itu sulit. Sebaiknya burung itu dilepas saja dulu biar terbang ke mana saja mencari jati diri lagi di alamnya, melupakan kata-kata yang telah didengarnya”, begitu Karto memberi saran. “Sebaiknya, sementara Bapak tidak memiliki burung beo dulu”, tambahnya.
Pejabat itu tidak bisa menyangkal dan menolak kata-kata Karto. Tapi, dilihat dari wajahnya pejabat itu suka rewel dan biasa protes, terutama biasa protes kepangkatan di kantornya yang ujung-ujungnya masalah duit. Betul juga, dengan wajah yang memerah dia tetap beralasan seperti memaksa menginginkan seekor burung beo lagi.
“Jauh-jauh saya datang, Pak Karto. Saya harus membawa pulang burung beo. Berapapun harganya”.
“Jangan memaksa seperti itu, Pak! Saya tidak akan bertransaksi karena terpaksa, Pak. Tidak baik akibatnya”.  
“Sekali lagi, Pak Karto! Saya pulang harus membawa burung beo! Bagaimanapun caranya! Keinginan saya tidak boleh tertunda”, pejabat itu menampakkan kekuasaannya.
“Jangan paksakan begitu, Pak! Saya paling tidak suka kalau dipaksa”.
“Apa? Pak Karto belum tahu siapa saya, yah! Dasar, Karto Kroto!”.
Tidak diduga sama sekali, burung beo yang dibawa pejabat itu mendengar kata-kata “Karto Kroto”, sepontan menirukan kata-kata itu berkali-kali hingga terdengar oleh burung-burung beo yang lain yang sedang dalam taraf latihan bicara. Semua burung beo yang ada di rumah Karto berkali-kali mengulang kata-kata “Karto Kroto”. Kata-kata itu seperti menjadi kata-kata kunci bagi segala jenis burung yang lain di rumah Karto, lepas dari kurungannya. Lalu, burung-burung yang lepas itu secara mendadak terbang memburu pejabat itu beserta rombongannya yang sedang menuju mobilnya, serempak tanpa ampun mematuk mereka  berkali-kali.
  
                                                                                                Kebarongan, 16 Januari 2011

                                                                                    Sugiharto.